OLEH: Imran Yamin, Anggota Dewan CSR Kota Makassar 2014-2017/Alumni Unhas
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan seringkali menjadi pertanyaan bagi masyarakat ataupun para aktivis-aktivis sosial kemasyarakatan kepada perusahaan yang melakukan operasi di sekitar lingkungan masyarakat.
Mereka menanyakan apa manfaat dan kontribusi keberadaan perusahaan di lingkungan sekitar, dimana perusahaan tersebut memanfaatkan sumberdaya alam yang di sekitarnya. Menjadi sebuah perdebatan bahwa CSR atau dalam terminology yang lain tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan atau ada juga yang menamai tanggung jawab sosial lingkungan perusahaan (TSLP). Yang terakhir ini lebih banyak digunakan di daerah sebagai sebuah nama bagi perusahaan yang melaksanakan CSR, bahwa pemaknaan terhadap CSR bagi para stakeholder dimaknai dan dipahami secara berbeda-beda.
Keberadaan CSR dengan segala kegiatan aktivitasnya di lingkungan masyarakat masih sangat sulit mengukur tingkat keberhasilannya, karena baik penyalur CSR dalam hal ini perusahaan maupun penerima CSR memiliki cara pandang yang berbeda. Tidak sedikit masyarakat memandang CSR sebagai sesuatu untuk mendapatkan keuntungan disisi yang lain perusahaan memaknai yang penting tercatat dalam necara keuangan perusahaan sudah sekian miliar sumbangan yang diberikan kepada masyarakat sebagai pengejawantahan asas kepatuhan kepada hukum bagi entitas bisnis. Padahal kalau hal tersebut dimaknai dengan baik dan pemanfaatan CSR dilakukan secara terprogram dengan pelibatan masyarakat berdasarkan need assessment masyarakat, maka sasaran ataupun target pendayagunaan CSR perusahaan untuk kepentingan masyarakat akan jauh lebih termanfaatkan dan dapat diukur keberhasilan programnya.
Seringkali kita melihat ataupun perusahaan memaknai CSR adalah merupakan aktivitas bagi-bagi uang atau donasi/charity kepada masyarakat. Padahal sesungguhnya jika CSR dikelola dengan baik dengan proses, program, dan target yang tepat bukan tidak mungkin kiprah CSR perusahaan akan mampu memberi warnai tersendiri dalam membangun brand image perusahaan.
Sangat disadari bahwa pengelolaan CSR di setiap perusahaan berbeda-beda. Belum lagi penerima CSR pun kadang kala hanya “itu-itu saja” yang memiliki akses dan konektivitas ke perusahaan penyalur CSR. Pada posisi ini kemungkinan terjadinya duplikasi bantuan untuk penerima sangat besar.
Boleh jadi perusahaan yang satu telah menggelontorkan dana CSR-nya ke-UMKM misalnya tetapi di sisi lain perusahaan lainnya pun turut serta memberi CSR. Sehingga hanya perusahaan “itu-itu saja” yang menerima CSR, padahal kalau itu di bagi secara merata kepada pelaku usaha ataupun masyarakat akan memberi dampak yang sangat besar terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dalam menggerakan ekonomi kerakyatan.
Sesungguhnya dengan keadaan seperti ini bagi institusi pengelola CSR baik itu forum ataupun dewan CSR yang dibentuk oleh pemerintah terutama di daerah ataupun lembaga swadaya masyarakat mesti melakukan inisiatif sinkronisasi program dengan perusahaan yang menggelontorkan dana CSR nya khususnya untuk penganggaran tahun berikutnya sehingga program ini bisa dikatakan akan tepat sasaran dan tepat kegiatan. Biasanya perusahaan penyalur dana CSR sudah melakukan pembahasan penganggaran di bulan Agustus sampai dengan November tahun berjalan untuk program CSR tahun berikutnya.
Seyogyanya pengelola CSR ini harus lebih dahulu secara bersama melakukan social mapping dengan perusahaan penyalur dana CSR untuk mengukur tingkat kebutuhan dan program yang akan dillaksanakan nanti ketika penyaluran dana CSR telah dilakukan di tahun berjalan.
Sesungguhnya bila pengelolaan CSR dilakukan secara terintegrasi dalam satu tatanan secara bersama bukan tidak mungkin CSR perusahaan akan memiliki dampak yang sangat besar bagi perkembangan ekonomi kerakyatan khususnya bagi pelaku usaha UMKM di Sulsel. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan CSR perusahaan apabila dilaksanakan secara satu pintu. Tetapi memang bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Terlebih setiap perusahaan berbeda-beda maksud dan tujuan menyalurkan dana CSR nya belum lagi target dan sasaran penerima CSR yang berbeda-beda pula.
Dalam kondisi seperti ini peran pengelola CSR yang dibentuk oleh pemerintah daerah harus mampu memainkan fungsinya dalam berkoordinasi dengan perusahaan pemilik dana CSR. Pengelola CSR tidak boleh sebatas menunggu tapi harus pro aktif memberi edukasi, sosialisasi dan literasi kepada perusahaan pemilik dana CSR akan pentingnya kemanfaatan dana CSR yang digulirkan oleh perusahaan dengan memberi keyakinan kepada perusahaan bahwa pengelolaanya sangat akuntabel, terpercaya dan transparan bagi siapa saja yang ingin mengakses. Peran pengelola CSR harus adaptif terhadap perubahan teknologi informasi dan mampu menyediakan data base calon penerima CSR khususnya bagi pengembangan UMKM di Sulsel.
Pengelola CSR harus memahami apa yang menjadi keinginan perusahaan pemilik dana CSR, karena perusahaan tersebut tentu memiliki Key Performance Indicator (KPI) untuk pengelolaan CSR ke masyarakat. Sering kali perusahaan pemilik dana CSR berprinsip mengapa mesti menyerahkan ke lembaga atau organisasi penyalur CSR, toh kita juga bisa menyalurkan sendiri ke masyarakat. Apa manfaatnya buat kita? Jangan-jangan nama penyalurnya yang beken dan terkenal sementara pemilik dana tidak di kenal oleh masyarakat. Di sinilah di butuhkan koordinasi antar pemilik dana CSR dan penyalur CSR dalam hal ini lembaga yang di bentuk oleh pemerintah daerah.
Penyalur harus mampu menjawab semua tantangan dan memberi keyakinan bahwa dana perusahaan tersebut benar-benar sampai ke masyarakat yang membutuhkan dan sesuai dengan keinginan perusahaan pemilik dana CSR. Kelihatannya gampang untuk dilaksanakan dalam konteks teori, namun prakteknya tidak sesederhana yang dibayangkan. Pengelola CSR sekali lagi harus mampu menciptakan trust dan menunjukkan itikad baik untuk melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan bukan pencitraan, tidak ada unsur mencari keuntungan finansial di dalamnya apalagi melakukan “sunat” dana saat ada penyaluran ke masyarakat.
Mestinya pengelola CSR ataupun dewan/forum CSR yang dibentuk oleh pemerintah membuka diri atau setidaknya mampu membangun komunikasi dengan perusahaan pemberi CSR untuk mengidentifikasi dan mensinkronkan program CSR yang akan dilakukan oleh perusahaan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Dewan atau forum CSR yang dibentuk harus benar-benar melakukan baseline survey untuk memastikan bahwa calon penerima CSR memiliki track record yang bagus agar dapat dilakukan pembinaan secara berkesinambungan untuk mewujudkan kemandirian pelaku usaha yang memanfaatkan dana CSR.
Dalam konteks pelaksanaan CSR yang dilakukan perusahaan BUMN dikenal dengan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dan yang paling terakhir menggunakan nama tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan. Hingga saat ini program TJSL masih dilaksanakan oleh perusahaan BUMN untuk mendukung program pemerintah sebagai bagian dari keikutsertaan dalam program sustainable development goals (SDGs) yang menekankan pada empowering masyarakat. Bisa dibayangkan ada puluhan perusahaan plat merah yang menyalurkan dana CSR-nya di Sulsel belum lagi perusahaan swasta nasional dan perusahaan multinasional yang apabila dikumpulkan dalam satu wadah kepengelolaan CSR yang mendapat legitimasi dari pemerintah dan tentu memiliki rekam jejak yang baik, dan terpercaya, akan sangat membantu bagi kemandirian UKMK.
TJSL ini merupakan komitmen perusahaan BUMN terhadap pembangunan yang berkelanjutan dengan memberikan manfaat pada ekonomi, sosial, lingkungan, dan hukum serta tata kelola dengan prinsip yang lebih terintegrasi, terarah dan terukur dampaknya serta dapat dipertanggungjawabkan dan merupakan bagian dari pendekatan bisnis perusahaan.
Perusahaan CSR tidak sekadar bagi-bagi hadiah atau asal uang habis tapi lebih mengarah kepada bagaimana perusahaan melakukan pembinaan dan pendampingan kepada masyarakat agar bisa mandiri dan menciptakan lapangan pekerjaan, dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dalam jangka panjang kondisi ini akan menjadi citizen culture (tata nilai dan budaya) perusahaan yang melekat sebagai entitas bisnis yang memiliki asas kepatuhan kepada hukum.
Semoga tulisan ini bisa memberi pandangan dan pertimbangan dalam memenuhi wawasan ber CSR. (*)