Di AS, lakrimator juga dikenal dengan sebutan CS gas atau chlorobenzalmalononitrile. CS merupakan perpaduan dari inisial terakhir dua ilmuwan yang menemukannya pada 1928, yakni Ben Corson dan Roger Stoughton.
Berakhirnya Perang Dunia I membuat ribuan tentara AS pulang kampung dan butuh pekerjaan. Akan tetapi, tidak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia saat masa beralih dari peperangan ke era damai.
Kondisi itu berimbas pada meningkatnya agitasi pemogokan buruh, bahkan sampai memicu kerusuhan di kalangan warga Amerika keturunan Afrika.
Warga kulit putih di AS menganggap mantan tentara Afro-Amerika memperoleh banyak keuntungan semasa perang. Selama periode 1919-2021 saja terdapat 29 kekerasan karena aksi mogok dan kerusuhan rasial di AS.
Hal itu memaksa pemerintah AS menurunkan tentara untuk menciptakan ketertiban. Gas air mata pun menjadi pilihan untuk membubarkan massa. Menurut Feigenbaum, upaya membubarkan massa dalam kerusuhan biasanya meninggalkan jejak dan ceceran darah.
Namun, hal itu tidak terjadi pada penggunaan gas air mata. “Anda tidak tampak seperti orang jahat, cuma membuat orang-orang kelihatan acak-acakan,” tutur Feigenbaum.
Pada 1932, ribuan veteran Perang Dunia I menggelar aksi bertitel Bonus Army March dengan melakukan mars ke Washington DC untuk mengeklaim uang yang dijanjikan pemerintah.
Era Great Depression pada waktu itu membuat banyak orang jatuh miskin. Aksi itu menjadi kaos. Pemerintah AS mengerahkan militernya untuk mengatasi aksi tersebut.
Para veteran yang ikut aksi tidak membawa senjata sama sekali. Adapun tentara pemerintah menggunakan gas air mata. Insiden itu menjadi pemberitaan utama di berbagai media.