Sebelum dua penguasa “kembar” Makassar menerima Islam, terlebih dahulu ada dialog spiritual antara ulama dan raja. Menurut tradisi lisan Makassar, setelah raja Tallo mengetahui berita kedatangan Datuk ri Bandang, dia bergegas menuju pantai. Dalam perjalanan, raja bertemu dengan seorang pria bersurban di depan gapura istana Tallo. Pria tersebut menuliskan kalimat (dalam aksara dan bahasa Arab) yang tidak dipahami oleh raja, sembari berpesan agar memperlihatkan tulisan itu kepada orang suci yang akan ditemuinya. Pria itu kemudian pergi, dan raja melanjutkan perjalanan ke pantai. Raja mengikuti petunjuk orang tersebut. Setelah melihat tulisan di tapak tangan raja, Datuk ri Bandang mengatakan bahwa orang yang menuliskan kalimat tersebut adalah penjelmaan Nabi Muhammad, yang dalam bahasa Makassar disebut Makasaraki nabbi Muhamma (Mattulada, 1976:10). Tentu saja raja sangat tersanjung secara spiritual karena jalan pengislamannya diawali pertemuan dengan Nabi. Peristiwa itu digunakan oleh Datuk ri Bandang untuk meyakinkan raja mengenai kemuliaan Islam yang didakwahkannya.
Pengislaman raja Tallo mengandung nilai spiritualitas yang tinggi dibandingkan dengan proses yang sama terhadap dua penguasa sebelumnya, di Luwu dan Tiro. Datuk ri Pattimang menggunakan pendekatan Tauhid lewat dialog ketuhanan di tempat terbuka dengan penguasa Luwu yang disaksikan oleh penduduk setempat. Datuk ri Tiro pendekatan tasawwuf (kebatinan) lewat adu kesaktian antara raja dan ulama di tempat umum. Sementara, Datuk ri Bandang berhasil menyakinkan raja Tallo bahwa Nabi Muhammad telah mengislamkan dirinya sebelum bertemu dengan dia.