Isyarat, bahasa, serta gerak yang mengalun, mengalir, pada pusaran bissu itu sendiri adalah ruang tak terhingga dari manisnya kebudayaan.
Manusia sebagai homo religiousus yakni mahluk yang memiliki kecenderungan untuk bersandar pada kekuatan di luar dirinya, sangat penting. Bissu memainkan perannya, yang mampu membaca tanda dan isyarat alam sebagai alamat dalam menerokah kejadian.
Zaman berputar, bagai roda pedati yang menggilas segala yang tak mampu bertahan. Bissu pun demikian. Acapkali dibenturkan dengan agama, dituduh pembid’ah, takhayul, dan kurafat atas pemurnian.
Tak ayal, sebagai homo historicum (mahluk berkisah) bissu nantinya akan menjadi kisah bila tak mampu bertahan ditengah gempuran hegemoni kekuasaan yang tak berpihak. Padahal kisahnya, tak terpisahkan dengan keberadaan dan keadaan kita hari ini.
Bissu tak hadir, ada kisah yang terputus.
Hadirnya antara ada dan tiada. Ketidak beradaannya bukan berarti lonceng kematian baginya. Hanya saja kita kehilangan bagian kisah yang tak usai dengan mencipta budaya baru yang sama sekali tak dikenali. **