Oleh: Andi M. Akhmar, Pengajar di FIB Unhas
Ketidakterlibatan bissu di Bone dalam Hari Jadi Bone ke-692 (selanjutnya disingkat HJB) memunculkan respons dari berbagai kalangan, seperti akademisi, budayawan, maupun berbagai kelompok masyarakat, baik dalam bentuk tulisan maupun komentar di media sosial. Berdasarkan kecenderungannya, pendapat-pendapat itu setidaknya dapat dibagi ke dalam dua perspektif.
Perspektif pertama adalah mereka yang percaya bahwa budaya bissu adalah budaya asli yang hidup di Sulawesi Selatan sehingga ia patut dilestarikan atau dilindungi. Kelemahan dari perspektif ini adalah budaya dipahami sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah, seolah-olah ia hidup dalam isolasi, dan tidak terkontaminasi oleh kehidupan ekonomi dan politik, serta perubahan sosial yang berlangsung mengiringinya. Kategori perspektif kedua ialah perspektif yang memosisikan bissu sebagai korban yang tidak berdaya karena perannya ditiadakan dalam prosesi ritual mattompang arajang sebagai bagian penting dari peringatan HJB. Argumen yang lebih jauh, seperti yang dinyatakan Andi Faisal dalam Bissu, Politik Kematian dan Kematian Politik, adalah bahwa hal tersebut mampu mengantarkan mereka ke dalam kondisi bare life atau kehidupan yang kosong sekaligus menjadikan bissu sebagai kelompok tanpa identitas.
Dalam tulisan ini, saya akan menyajikan satu sudut pandang yang berbeda dari keduanya, yaitu perspektif yang menempatkan bissu sebagai sebuah kelompok yang memiliki apa yang dalam ilmu sosial disebut agensi, yang berarti bahwa mereka mampu bertindak dan melawan, bukan serta-merta dianggap sebagai kelompok yang pasif, apalagi akan kehilangan identitasnya. Hal yang perlu dicatat pertama adalah peran bissu telah mengalami banyak perubahan dan pergeseran dari masa ke masa, sehingga perspektif budaya “asli” bisa menyesatkan bila dipakai sebagai pisau analisa.