English English Indonesian Indonesian
oleh

Bissu dan Perlawanan Tanpa Suara

Kedua ialah melalui ritual mattompang arajang di mana bissu secara historis memiliki peran sebagai penjaga pusaka kerajaan. Meski memang sistem pemerintahan kerajaan sudah tidak lagi dipakai, namun ritual ini berfungsi secara simbolik sebagai pemersatu. Tentu saya tidak disepakat kalau bissu ditiadakan dalam proses itu, karena ia kehilangan salah satu peran pentingnya sekaligus dianggap sebagai bukan bagian masyarakat Bone oleh negara yang memfasilitasi HJB ke-692. Namun, itu bukan berarti bahwa bissu akan kehilangan atau terlemahkan identitasnya seperti yang dinyatakan Andi Faisal dan Rabiatul adawiah. Sebab, identitas bissu tidak hanya ditentukan dari keterlibatannya dalam mattompang arajang. Identitas terlalu besar untuk dimusnahkan oleh sebuah acara seremonial.

Apa yang menurut saya penting untuk dilihat adalah sikap bissu terhadap ketidakterlibatan mereka dalam mattompang arajang. Dalam ritual tersebut, peran bissu sangat menonjol dan bahkan penting. Peran itudimulai dari pengambilan air suci (mellekkeq tojja) pada beberapa sumur kuno di Kabupaten Bone, pra-mattompang arajang yang diselenggarakan sehari sebelum pelaksanaan acara puncak HJB dan diselenggarakan secara tertutup, serta acara mattompang arajang yang dimulai dari mengambil atau memindahkan arajang dari tempat penyimpanannya di Museum Arajang, mengantarkan arajang ke panggung utama tempat para tim yang bertugas membersihkan benda pusaka kerajaan tersebut, hingga melakukan tari maggiriq. Dalam HJB ke-692, bissu hanya ditawari untuk terlibat dalam pra-mattompang arajang di mana ia tidak begitu terlihat di muka publik. Dengan kata lain, ada upaya untuk menyembunyikan bissu di ruang publik.

News Feed