Bissu dalam sejarah
Marginalisasi terhadap bissu di Sulawesi Selatan sebetulnya merupakan proses yang berlangsung sudah sejak lama. Setidaknya, seperti yang dicatat Evelyn Blackwood (2006), proses delegitimasi itu bermula dari abad ke-17 ketika struktur agama Samawi memperkenalkan mitologi gender baru yang, bukan cuma mengakui dua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), tapi juga menggeser La Galigo sebagai kitab sandaran kosmologis dan kepercayaan orang-orang Bugis yang darinya bissu mendapatkan acuan kultural sebagai kelompok yang kini disebut transgender.
Meski satu per satu kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan mulai memeluk agama Islam pada abad ke-17, ritual-ritual yang dilakukan bissu tetap mendapatkan tempat. Di sini, kita dapat melihat bahwa proses marginalisasi tidak serta merta berlangsung total. Hampir selalu terjadi negosiasi dan resistensi yang muncul dalam berbagai bentuk, meski kadang relasi kuasa di antara mereka tidak bersifat setara. Hal yang terjadi kemudian adalah proses sinkretisasi antara Islam dan kepercayaan tradisional Bugis yang berbasis pada La Galigo. Proses Islamisasi Bugis juga berpengaruh terhadap cara bissu menyelenggarakan ritual. Ketika merapalkan mantra, mereka tidak lagi menghadap ke Timur seperti dalam kepercayaan Bugis kuno, tapi menghadap ke Barat, mengarah ke Mekkah, sembari membacakan mantra dalam bahasa Bugis (Akhmar, 2018).
Proses marginalisasi yang dialami bissu semakin mengemuka ketika memasuki abad ke-20. Ada tiga hal yang penting untuk dicatat di sini. Pertama, penyebaran modernitas yang mempromosikan sains dan pendidikan yang semata berbasis rasionalitas (Peletz, 2006:315). Jika di masa lalu orang-orang menaruh kepercayaan kepada bissu untuk menyembuhkan penyakit, maka dengan hadirnya pengobatan modern peran bissu sebagai sanro menjadi kurang atau tidak relevan. Begitu juga dengan peran bissu sebagai sosok yang mampu meramal masa depan. Dengan adanya teknologi prediksi cuaca dan bencana, peran itu tidak lagi berfungsi.