Modus-modus ini sangat sering ditemukan di tempat-tempat ramai. Khususnya di warung kopi atau kafe-kafe. Pantauan FAJAR, mereka biasa terlihat di kafe-kafe Jalan Faisal, Jalan Boulevard, dan Toddopuli.
Ketua Progaram Studi (KPS) Pascasarjana Sosiologi FISIP Unhas Rahmat Muhammad mengatakan pada dasarnya naluri setiap orang untuk survive selalu ada. Hanya kadang berbenturan dengan kebijakan dari pemerintah.
“Terutama di kota besar, seperti Makassar. Fenomena ini marak di beberapa lokasi yang disasar seperti kafe atau warkop,” katanya.
Hal ini jadi indikasi bahwa pemerintah kurang tegas dalam menertibkan dan diserahkan ke masyarakat. Padahal, tidak semua warga tega untuk tidak memberikan sesuatu yang dianggapnya sebagai sumbangan atau sedekah.
“Kondisi ini tentu dilematis di lapangan, berpotensi mengganggu bagi pelanggan. Tetapi, tidak tega juga mengusir, apalagi yang mengaji entah menghafal atau baca Al-Qur’an,” kata anggota Senat Akademik Unhas itu.
Tidak mudah juga menyalahkan, karena mereka butuh hidup dengan cara yang dianggap efektif. Jadi pemerintah yang perlu tegas untuk mentunjukkan mana yang salah dan dibenarkan sesuai aturan.
“Itulah pembinaan, jangan sampai mereka memanfaatkan kelemahan regulasi dari aparat sehingga mereka ‘ajak bermain’ denga cara yang merela anggap benar,” terangnya
Di sisi lain, masih banyak mayarakat yang mau bersedekah dengan cara seperti itu. Apalagi tersentuh denga bacaan ayat suci Al-Qur’an.
“Intinya, jangan mudah menghukum orang yang lagi butuh pembinaan akibat kelemahan dari pemerintah yang kurang tegas,” kata Rahmat.