“Di PSM saya dibentuk, dilatih untuk berani ambil risiko. Mungkin tanpa pengalaman itu, saya tidak akan siap tampil di Port FC, apalagi di final seperti ini,” ujar Asnawi beberapa waktu lalu dalam wawancara eksklusif dengan media Thailand.
Walau kini berkarier di luar negeri, kemenangan ini serasa jadi pembuktian bagi produk asli PSM: bahwa pemain Indonesia bisa bersinar di luar sistem kompetisi lokal, sekaligus menjadi aktor utama dalam turnamen bergengsi seperti Piala Presiden.
Persib, Tekanan di Kandang Sendiri
Persib Bandung memasuki Piala Presiden 2025 dengan ekspektasi tinggi. Mereka baru saja mengangkat trofi Liga 1 setelah penantian bertahun-tahun. Dengan skuad mentereng dan atmosfer kandang yang mendidih, seharusnya tidak ada alasan untuk gagal.
Namun kenyataan di lapangan berkata lain. Ketergantungan pada performa individu, lini belakang yang rapuh, serta minimnya rotasi saat melawan tim-tim asing seperti Port FC, membuat mereka tumbang secara tak terduga. Padahal, dalam banyak catatan, Persib adalah tim paling dominan di fase grup.
Port FC, Tamu yang Merusak Pakem
Kemenangan Port FC membawa pesan penting: dominasi klub-klub lokal dalam turnamen pramusim bisa runtuh saat kompetisi dibuka untuk peserta asing. Dengan struktur organisasi yang solid, pelatih berpengalaman seperti Alexandre Gama, serta semangat juang dari pemain seperti Asnawi, Port FC menampilkan sepak bola efektif dan terorganisir.
Turnamen ini juga memunculkan pertanyaan strategis: apakah ke depan, Piala Presiden harus membuka diri lebih luas bagi klub asing? Atau justru mempertahankan statusnya sebagai ajang domestik?