Oleh Imam Shamsi Ali
Dalam sebuah diskusi yang disebut diskusi ilmiah, saya diundang hadir sebagai salah seorang panelis. Selain saya, ada tiga pembicara lainnya, yang kesemuanya bergelar professor dan Doktor di bidang yang didiskusikan. Tema diskusi itu adalah “Politik Moral vs Politik Identitas”. Mereka yang hadir juga tidak tanggung-tanggung; banyak guru besar, dosen, ahli dan sebagian dari media.
Banyak hal yang didiskusikan. Seperti baisanya, para ahli dan guru besar itu seolah berkompetisi menyampaikan opini, teori, dan hipotesa terbaiknya. Sebagai pelaku dakwah dan pendidikan, bukan politisi, tapi secara langsung bersentuhan dengan politik, saya merasa opini, teori dan hipotesa itu pada galibnya terdiskoneksi dengan kenyataan. Satu di antaranya yang didiskusikan adalah bagaimana Identitas seseorang tidak menguntungkan, tidak semestinya, dan bahkan tidak layak ditampilkan dalam perpolitikan.
Ada banyak argumen yang disampaikan oleh para guru besar itu. Salah satunya adalah bahwa menampilkan identitas pribadi dalam perpolitikan dapat mendegradasi nilai-nilai (values) dan pijakan moral (moral ground) dalam perpolitikan. Dengan menampilkan diri sebagai seorang Muslim misalnya dalam perpolitikan akan menjadi penyebab pertimbangan nilai dan dasar moralitas menjadi terdegradasi. Orang tidak lagi memilih karena ide, visi/misi dan program dari seorang kandidat. Tapi lebih kepada “afiliasi”nya sebagai pribadi.
Tentu pertimbangan di atas bisa benar dan memang sering terjadi. Dalam konteks sebuah bangsa misalnya, pada umumnya yang akan mendominasi perpolitikan nasional adalah seseorang dari kalangan ras atau suku yang dominan. Ambillah sebagai misal, di Indonesia hampir dipastikan non Jawa tidak akan terpilih sebagai Presiden. Karena suku atau ras dominan adalah suku Jawa.
Masalahnya kemudian bisakah identitas itu diabaikan? Bisakah seseorang berpura atau mendustai dirinya jika dia itu bagian dari kelompok tertentu dengan identitas tertentu? Jawabannya pasti tidak mungkin.
Identitas partikular dalam kehidupan itu adalah bagian dari tabiat penciptaan manusia (human nature). Allah sendiri menyebutkan dalam Al-Quran: “dan Kami jadikan kalian dalam ragam bangsa dan bersuku”. Dijadikannya manusia dalam berbagai bangsa dan suku itu dengan sendirinya bermakna pada masing-masing bangsa dan suku itu ada identitas yang dibanggakan.
Salah satu identitas yang paling disoroti dalam acara diskusi itu adalah identitas agama (baca Islam). Menurut para ahli itu menampilkan diri dengan identitas agama atau keislaman dalam perpolitikan pasti akan mengecilkan nilai Universal yang harusnya dikedepankan. Seolah menampilkan diri sebagai Muslim sudah pasti mengurangi komitmen “pelayanan untuk semua dalam kerangka keadilan Universal”. Maka seorang politisi yang menampilkan keislaman sudah pasti partisan dan tidak berpihak kepada kelompok yang lain.
Menanggapi itu saya sangat paham. Bahwa pemahaman yang salah tentang Islam itulah yang menjadi dasar kenapa sebagian orang, termasuk para intelektual dan terdidik berpandangan demikian. Semuanya karena kesalah pahaman terhadap Islam yang memang telah lama dirancang oleh mereka yang tidak menghendaki Islam ditampilkan di publik secara terbuka. Mereka tidak paham atau pura-pura tidak paham bahwa ajaran Islam yang terpenting adalah “Ketuhanan” dan “kemanusiaan”. Sehingga seorang Muslim itu di saat sadar ketuhanan pasti akan sadar tanggung jawab kemanusiaannya. Maka Islam menjadi agama “Universal” yang mengajarkan nilai Universal dengan konsep Qurani “rahmatan lil-alamin”.
Karenanya saya justeru menekankan bahwa seorang Muslim dalam berpolitik harus tampil dengan keislamannya. Keislaman yang Universal, memberikan pelayanan yang adil untuk semua. Karena konsep “kasih sayang (rahmah) Islam itu ditujukan untuk seluruh semesta alam (al-alamin). Seharusnya semakin kental keislaman seseorang akan semakin sadar akan tanggung jawab kemanusiaannya.
Pada konteks yang lebih luas, khususnya dalam konteks Dakwah, menampilkan identitas keislaman dalam perpolitikan dan kehidupan publik secara umum menjadi sangat penting. Hal itu karena setiap anggota umat ini adalah da’i yang harus menyampaikan kebenaran Islam. Dan tablig (menyampaikan) dalam konteks perpolitikan adalah berpoltik dengan integritàs dan akhlakul karimah. Bukan dengan politik culas, penuh tipuan dan manipulasi karena dorongan “greed for power” (rakus kekuasaan).
Berpolitik dengan identitas Islam yang baik adalah bagian dari implementasi ayat: “dan adakah perkataan yang lebih baik dari ajakan kepada Allah, berbuat baik, dan berkata: sesungguhnya saya adalah orang Islam”.
Seorang politisi yang terbuka mendeklarasikan diri sebagai Muslim, lalu melangkah dalam perpolitikan dengan etika dan moralitas yang tinggi seolah mengatakan: “I am a Muslim and look at me with my political character, morality and integrity”.
Sebagai pelaku Dakwah di lapangan, seorang politisi yang bangga membuka diri sebagai seorang Muslim dan mampu tampil memukau dengan kemampuan kepemimpinan, menejemen yang baik, serta integritàs dan akhlak yang mulia harus diapresiasi dan dibanggakan. Dia adalah pelaku dakwah “bil-haal” yang mulia. Seorang politisi yang terbuka dengan identitas keislaman dan berhasil, kemungkinan saja lebih efektif dalam menyampaikan Islam kepada publik dibandingkan puluhan bahkan ratusan ustadz dengan retorika tinggi di mimbar-mimbar Masjid.
Dalam konteks inilah saya sangat mengapresiasi dan bangga dengan seorang Zohran Mamdani di Kota New York. Seorang politisi muda yang berani dan konsisten dalam menampilkan diri sebagai “the first Muslim candidate to be the Mayor of the largest city in the world, NYC”. Beliau tidak pernah malu, ragu, apalagi takut mendeklarasikan diri sebagai “Muslim” (wa qaala innani minal Muslimin”. Dia adalah dai hebat di bidangnya. Bahwa seorang Muslim itu tidak selalu diposisikan hanya sebagai “obyek politik” orang lain. Tapi pelaku politik yang bermoral, beretika dan inklusif “rahmatan” untuk semua.
Saya hanya ingin mengatakan: jangan-jangan mereka yang tidak mau menampilkan identitas keislaman dalam politik karena memang tidak paham Islam yang sesungguhnya. Tidak paham jika Islam itu adalah “rahmah” untuk semua. Mungkin juga karena memang malu dan tak percaya diri dengan keislamannya. Atau dari awal sudah ragu jika dalam berpolitik mereka akan amanah.
Percayalah, jika Islam diambil secara sungguh-sungguh dan sepenuhnya hati akan menjadi “lenterà” perjalanan hidup yang benar dan baik, termasuk dalam perpolitikan. Yakin!
New York City, 5 Juli 2025
*Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation