FAJAR, MAKASSAR — Trauma atau ketakutan terhadap suatu peristiwa tidak hanya dialami oleh orang dewasa. Anak-anak, balita, bahkan janin dalam kandungan pun ternyata dapat merasakan trauma sejak dini, meski mereka belum bisa mengungkapkannya secara verbal.
Psikolog Klinis RS Mitra Husada, Dra. Rr. Evy Rakryani, Psikolog, mengungkapkan anak sangat mungkin mengalami trauma sejak dalam kandungan. Trauma yang dialami ibu saat hamil, menurutnya, dapat berpengaruh langsung terhadap kondisi emosional janin.
“Jadi kalau trauma atau ada rasa tidak baik yang dialami ibu, si anak dalam kandungan ini bisa saja ikut menimbulkan trauma dalam dirinya ketika ia sudah lahir,” jelasnya.
Menurut Evy, keterhubungan antara ibu dan janin bukan hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Saat seorang ibu merasakan stres berat, ketakutan, atau mengalami kekerasan, hormon stres seperti kortisol akan mempengaruhi perkembangan otak janin.
“Janin itu terkoneksi dengan perasaan ibu. Meski tidak mengalaminya secara langsung, dia bisa merasakan apa yang ibu rasakan selama kehamilan,” ujarnya.
Akibatnya, setelah lahir, anak mungkin menunjukkan perilaku tertentu yang mencerminkan trauma masa kehamilan tersebut. Misalnya, ketakutan berlebihan terhadap suara keras, ketidaknyamanan dalam situasi tertentu, atau gangguan tidur.
“Ia akan trauma dengan apa yang dulu terjadi pada ibunya saat ia dikandung. Ini terjadi karena sudah ia rasakan sejak di dalam rahim,” tambahnya.
Seringkali, lanjut Evy, orang tua tidak memahami akar dari perilaku anak yang cenderung sensitif atau mudah cemas. Mereka cenderung menganggap anak “lebay” atau manja, padahal bisa jadi itu adalah sisa-sisa trauma sejak ia belum lahir.