Oleh: Rismayanti / Dosen Sastra Indonesia FIB Unhas
Pernahkah kita berpikir bahwa bunyi dan suara yang kita dengar ini memengaruhi otak kita secara sadar, entah interaksi kita terhadap seseorang melalui percakapan langsung atau sekadar teks?
Hari-hari kita yang ditemani oleh suara orang-orang tersayang tetiba tidak ada lagi entah karena terpisah oleh jarak, putus, kehilangan, ditinggalkan untuk selamanya. Itu lambat laun akan memudar bahkan hilang saat kita tidak lagi berinteraksi dengannya. Interaksi bukan hanya sekadar fisik, tapi entah tidak lagi saling berkabar melalui via telepon atau teks. Jika masih ada interaksi melalui teks. Alam sadar kita ketika kita membaca teks tersebut dengan mengandalkan memori yang tersimpan di otak, akan otomatis teks yang kita baca seolah-olah orang tersebut menyuarakannya. Tak khayal sebuah teks dapat memicu pertengkaran atau interaksi sosial lainnya.
Menurut Rubin (2006), menyebutkan bahwa memori auditori tanpa pengulangan cenderung mengalami desakan menuju ketidakaktifan dalam waktu antara 6 hingga 12 bulan, terutama jika tidak didukung oleh stimulus emosional atau sensorik lainnya.
Ini artinya, dalam jangka waktu rentang tersebut manusia mampu move on jika tidak ada lagi interaksi sama sekali. Stimulan otak dengan mengganti suara-suara baru mampu membantu sedikit demi sedikit menggantikan orang yang sebelumnya. Misalkan, dengan datangnya orang baru, interaksi setiap hari entah bertemu atau via teks, hal ini mampu menstimulus menggantikan suara sebelumnya.
Namun, bagaimana jika seseorang tetap mengingat suara mantan kekasihnya bertahun-tahun setelah perpisahan, meskipun tidak ada lagi interaksi? Bahkan, bagaimana jika ia masih tetap mencintainya tanpa pernah kembali berkomunikasi? Atau bagaimana jika yang tersisa adalah kebencian?
Fenomena ini menunjukkan bahwa cinta tidak selalu bergantung pada kehadiran fisik atau paparan sensorik. Psikologi menyebut adanya keterikatan emosional mendalam yang tertanam dalam memori jangka panjang. Memori ini tidak sekadar bersifat auditori, tetapi juga afektif menggabungkan suara, perasaan, narasi hubungan, dan harapan yang belum selesai.
Menurut Conway dan Pleydell-Pearce (2000), memori autobiografis dapat terus aktif jika dikaitkan dengan identitas diri atau pengalaman emosional yang kuat. Bahkan tanpa paparan sensorik seperti suara, representasi internal tetap bertahan karena ia telah menjadi bagian dari struktur naratif kehidupan seseorang. Dalam hal ini, cinta yang bertahan tanpa interaksi bukanlah anomali, melainkan hasil dari proses mental yang terus mengakses dan memperkuat memori tersebut melalui imajinasi, penyesalan, atau idealisasi.
Menurut Berntsen dan Rubin (2006), yang menunjukkan bahwa ingatan emosional dapat bertahan kuat dan lebih sering muncul kembali dalam kesadaran, terutama jika pengalaman tersebut menyentuh aspek inti dari konsep diri. Bahkan suara yang sebenarnya telah lama tidak terdengar, bisa “dihidupkan kembali” oleh pemicu sederhana lagu, aroma, suasana, atau mimpi.
Dapat dikatakan Suara bisa hilang, karena tidak dipicu atau tidak lagi dianggap penting oleh otak. Tapi emosi yang pernah terkait dengan suara itu bisa bertahan, terutama jika mengandung nilai autobiografis atau membentuk bagian dari identitas emosional seseorang.
Jadi dalam psikolinguistik, ini berarti representasi fonologis (bunyi) bisa lenyap, tetapi representasi semantis-afektif (makna dan perasaan) tetap hidup dalam memori naratif. Ada beberapa data yang saya jadikan sampel dari hasil wawancara. Katakanlah namanya N, ditinggalkan bapaknya sejak tujuh tahun yang lalu. Ia mengatakan, suara bapaknya kini telah tersamarkan karena tidak adanya interaksi lagi dan tidak adanya rekaman suara maupun video. Hal ini yang menjadikannya samar-samar. Lalu katakanlah L, ia telah putus bersama pacarnya, hitungan bertahun-tahun. Namun suara mantan kekasihnya masih teringat jelas, ini katanya karena kenangan orang tersebut masih tersimpan jelas di ingatannya. Kedua orang ini mengalami proses yang berbeda. Si N masih mengingat wajah Bapaknya, namun suaranya sudah mulai tersamarkan. Si L, masih teringat jelas di memorinya suara mantannya karena memori yang tersimpan beserta kenangannya. Lalu katakanlah A, telah kehilangan orang tuanya juga sejak empat tahun yang lalu, tapi suara tentang Bapaknya masih teringat jelas karena menyimpan rekaman dan video Bapaknya. Ia masih selalu melihat rekaman dan foto Bapaknya.
Hal ini membuktikan, suara dengan seiring waktu akan tersamarkan bahkan menghilang, tapi tidak dengan secara psikologi. Ini juga bergantung dengan stimulun, memori seberapa lama menghabiskan waktu bersamanya yang sering dilakukan. Ini sama halnya interaksi yang dilakukan bila seseorang telah putus dengan kekasihnya. Rentang 6-12 bulan akan tersamarkan dengan sendirinya tanpa interaksi setiap harinya. Rentang waktu ini adalah momen untuk move on dan menghapus semua stimulan lainnya. Bila interaksi terputus sama sekali meskipun lewat chat. Chat artinya ada teks yang dibaca, dengan sendirinya teks yang dibaca akan seolah-olah secara visual mengucapkannya.
Namun secara memori kenangan setiap orang berbeda bukan hanya suara, aroma juga mampu mengingatkan suatu hal seperti parfum dapat mengingatkan pada seseorang, suatu ruang dan momen tertentu. Tak khayal dengan adanya suara baru yang mengisi setiap hari, secara alam sadar akan tertanam. Tapi sekali lagi perasaan dan suara berbeda. Ada perasaan yang cepat move on dan ada juga masih tersimpan dengan rapi. Entah karena kenangan indah atau hal menyakitkan sekalipun.
Marilah mulai sekarang upayakan untuk menyimpan hal-hal indah dan membuang hal-hal buruk dan menyakitkan dengan berusaha menstimulus salah satunya dengan mendengarkan hal-hal yang baik atau berada di sekeliling orang yang memberikan verbal positif. (*)