FAJAR, MAKASSAR — Stunting masih menjadi masalah kesehatan serius yang di hadapi Indonesia. Berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022 prevalensi stunting di Indonesia di angka dua puluh satu koma enam persen jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 24,4 persen, walaupun menurun angka tersebut masih tinggi mengingat target prevalensi stunting di tahun 2024 sebesar 14 persen dan standard WHO di bawah 20 persen.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2022 menyebutkan konsumsi protein per kapita masyarakat Indonesia sudah berada di atas standar kecukupan konsumsi protein nasional, yaitu 62,21 gram. Namun untuk protein sumber hewani masih harus ditingkatkan, yaitu dari kelompok ikan/udang/cumi/kerang 9,58 gram, daging 4,79 gram, telur dan susu 3,37 gram.
Padahal, konsumsi protein hewani memiliki peranan besar dalam mencegah terjadinya permasalahan gizi di Tanah Air.
Status gizi sangat penting karena merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kesakitan dan kematian pada anak.
Pada kasus stunting, misalnya, dalam jangka pendek akan menyebabkan perkembangan otak suboptimal dan terganggunya perkembangan kognitif, sehingga kemampuan belajar anak tidak optimal. Sementara dalam jangka panjang, para ahli meyakini anak yang mengalami stunting rentan terhadap penyakit tidak menular, peningatan risiko penyakit degeneratif, dan kesulitan bersaing di dunia kerja, sehingga produktivitasnya rendah.
Pakar Gizi Unhas Prof Veni Hadju menjelaskan stunting bisa disebabkan saat anak dalam kandungan dan atau saat dua tahun pertama. Makanya makanan MPASI antara 6 -23 bulan juga berpengaruh terhadap kejadian stunting, salah satunya protein.