Setidaknya ada ratusan nyawa di Desa Bontojai yang bergantung padanya. Mega bercerita, ia menjadi satu-satunya tenaga kesehatan yang bertugas di desa tersebut. Selain sebagai bidan yang menangani kelahiran, dia juga bertindak sebagai tenaga kesehatan umum.
Acapkali jemput bola ini dilakukan karena pasien kesulitan melakukan mobilitas, entah karena prasarana jalan maupun tak adanya sarana yang bisa digunakan ke fasilitas kesehatan.
“Biasanya kalau kita kunjungan ke sana, rutin setiap bulan, tapi kalau ada kondisi khusus ada pasien butuh pertolongan itu kita setiap saat, kapan saja, biar di luar jam kantor,” jelasnya.
Belum lagi akses jalan dari Pustu Bontojai ke puskesmas kecamatan terdekat juga menghadapi kendala yang sama. Jalan rusak ditempuh hingga 13 km.
“Semua pasien, kan, harus melahirkan di faskes, kalau memungkinkan saya bawa ke Puskesmas. Dalam kondisi darurat, kita juga terpaksa bantu persalinan di rumah,” jelasnya.
Setidaknya ada dua dusun di Desa Bontojai yang memiliki akses jalan yang tidak memadai, yakni Bahollangi dan Madello. Keduanya sama-sama tak bisa diakses dengan kendaraan roda empat.
Dusun Bahollangi merupakan yang tersulit karena harus menyeberangi sungai untuk bisa sampai ke sana. Letaknya pun berada di ujung dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Gowa.
Sementara untuk akses antartitik, iestimasi tempuh hingga 10 km atau bahkan lebih tergantung rumah pasien. Pun dalam keadaan terpaksa proses persalinan harus dilakukan di luar fasilitas kesehatan karena banyaknya hambatan.