“Menurut saya, berdasarkan luka yang ada di lehernya itu sangat keliru kalau dibilang gantung diri pakai sarung. Itu kayak dijerat ke belakang pakai tali. Kalau gantung diri bekasnya tidak lurus ke belakang, tapi mengarah ke atas di belakang telinganya dan otomatis gantung diri itu lidahnya keluar dan matanya melotot. Tapi ini tidak,” sambungnya.
Kejanggalan yang dilihat Jufri ini akhirnya membuat ia dan keluarga di Makassar meminta kepada pihak kepolisian di Fakfak untuk melakukan penyelidikan menyeluruh. Ia berharap fakta sebenarnya penyebab dari kematian sang anak bisa terungkap.
“Karena memang banyak janggal. Katanya anak saya meninggalnya subuh, tapi nanti sampai di rumah sakit baru kami keluarganya di kabari sekitar pukul 08.00 lewat. Sehingga yang kami lihat itu jenazah yang sudah di rumah sakit, sambil kami dikirimkan foto lokasi tempatnya Risma bunuh diri lengkap dengan sarungnya yang masih menempel di atap langit-langit kafe. Tapi bukan foto pas dia gantung diri,” ucapnya.
Jufri yang malang tampak tidak tahu harus berbuat bagaimana lagi untuk bisa mendapatkan keadilan. Dirinya mengaku sulit karena mengurus semuanya dari Makassar.
Misalnya, saat hendak untuk mengebumikan sang anak, karena keterbatasannya, ia tak bisa apa-apa selain daripada menyerahkan sepenuhnya kepada seorang kenalan anaknya di sana, untuk membantu hingga ke proses pemakaman Risma.
Begitupun saat berkomunikasi dengan pihak kepolisian dalam hal ini penyidik di Satreskrim Polres Fakfak, dirinya hanya bisa meminta bantuan kepada orang-orang di paguyuban Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) di Papua.