BPS juga mengonfirmasi bahwa tren generasi muda yang menunda menikah di Indonesia meningkat, terutama sejak pandemi. Maka, kelompok pemuda yang belum menikah dua kali lipat dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah.
Meski rendahnya angka pernikahan menjadi perhatian, bukan berarti masyarakat mengabaikan institusi pernikahan itu sendiri. Justru, fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dan prioritas di kalangan generasi muda.
Mereka menunda pernikahan bukan karena menolaknya, melainkan untuk mengejar impian dan mengembangkan diri terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah.
Situasi ini menuntut kebijakan yang bijak dari pemerintah. Di satu sisi, pemerintah harus berupaya untuk mendorong angka kelahiran agar bonus demografi dapat dioptimalkan. Namun di sisi lain, pemerintah juga harus memfasilitasi pemberdayaan generasi muda agar mereka dapat mengembangkan potensi diri secara maksimal sebelum memutuskan untuk menikah.
Salah satu langkah yang diambil pemerintah adalah melalui Program Bimbingan Remaja Usia Sekolah (BRUS) yang dicanangkan oleh Kementerian Agama RI.
Program ini bertujuan untuk memberi pemahaman pendidikan keluarga bagi kalangan remaja, sekaligus mengurangi angka perkawinan anak yang menjadi target pemerintah sebesar 8,74 persen pada tahun 2024 dan 6,94 persen pada tahun 2030.
Dengan kebijakan yang tepat sasaran dan integratif, fenomena penurunan angka pernikahan dapat menjadi katalis bagi kemajuan Indonesia di masa depan. Pemerintah harus mampu melihat peluang di balik tantangan ini dan mengoptimalkan potensi generasi muda sebagai kekuatan pembangunan bangsa. (*)