Akan kuceritakan sedikit kisahku dengannya. Kenapa tidak semua? Karena jika kuceritakan semuanya, bahkan mendeskripsikannya saja sudah memuat beratus-ratus banyaknya cerpen di laman Harian Fajar. Terima kasih Harian Fajar karena telah mengizinkan untuk sharing kisahku. Tentang bagaimana benci jadi cinta, lalu ia kembali membenciku.
ADA pepatah yang mengatakan jangan terlalu membenci nanti cinta. Rasanya karma itu berlaku padaku. Mengapa tidak? Ia dengan kesederhanaannya berhasil merebut semua perhatian, cemburu? Kurasa itu bukan keahlianku.
Sebut saja panggilannya Ip Ip. Tapi aku betul memanggilnya seperti itu. Terinspirasi dari Avatar, lebih tepatnya panggilan Aang pada Appa. Bisa jadi, hahaha itu lucu. Tapi, aku lebih terinspirasi dari Sara Wijayanto yang memanggil Demian, dengan panggilan itu.
Awalnya aku sangat membencinya. Sok asyik, menerima semua pujian, perhatian, dan selalu menjadi nomor satu. Bahkan jika aku bermasalah dengannya, aku yang harus meminta maaf. Walaupun memang benar dikatakan cowok selalu salah. Aku berkata ‘Aku tidak menyukainya’. Singkat cerita entah bagaimana itu bisa terjadi, aku berkenalan dengannya. First impression terhadapnya dia cukup asyik. Ternyata benar bahwa mengenali orang lebih dalam akan merubah perspektifmu. Seperti “never judge a book by its cover”.
Rasanya karma itu semakin menjadi. Benteng pertahanan kebencian juga kekesalanku padanya perlahan pudar dan malahan aku menjadi sangat menyukainya. Hari berganti bulan, rasaku padanya membuatku ingin memilikinya. Ah sial, kau penyihir ulung yang membuatku selalu bertemu pada adimarga.