Oleh: Abd Rahman Hamid
Sekprodi Magister Filsafat Agama UIN Lampung /
Dosen S2 Sejarah Unhas
Seseorang baru saja melihat tulisannya terbit di sebuah prosiding konferensi internasional oleh penerbit bereputasi di luar negeri. Sudah barang tentu ia sangat gembira, karena artikelnya dapat dijangkau oleh pembaca secara luas.
Namun, kegembiraan itu berubah menjadi kegelisahan, setelah membaca kembali tulisannya sampai akhir. Betapa kagetnya dia, karena ada empat referensi baru di halaman akhir tulisannya yang tidak pernah dirujuk dan bahkan sama sekali tidak terkait dengan artikelnya.
Ironisnya lagi, tulisan yang disitasikan itu berasal dari editor artikel konferensi tersebut. Saat dikonfirmasi mengenai alasan dimunculkannya empat referensi itu, yang sekali lagi tidak dirujuk, dengan mudah dijawab bahwa ia sengaja tulis untuk menambah sitasi. Secara tersirat ia juga mengatakan bahwa tindakan itu sudah lumrah dilakukan.
Setelah itu, dia juga melihat artikel lain. Ternyata, empat referensi tersebut juga disitasikan pada artikel lain dalam prosiding yang sama. Cara menyelipkan referensinya sama, yakni pada empat nomor sitasi terakhir, tanpa disitasi dalam tubuh artikel. Dengan kata lain, kehadiran empat referensi itu sesungguhnya tidak dikehendaki oleh penulis artikel, tetapi dipaksakan masuk oleh editornya. Begitulah hebatnya editor.
Kehebatan editor itu berdampak luas bagi penulis artikel. Betapa tidak, kalau ia dibaca oleh orang lain secara cermat, dan ternyata tidak menemukan empat referensi itu dalam tubuh karangan, maka pembaca akan menganggap bahwa penulisnya tidak jujur atau tidak patuh pada etika penulisan ilmiah. Padahal, penulisnya tidak melakukan tindakan tercela itu.