Oleh : Muslimin B. Putra
Alumnus Fisipol Unhas/Putra Balang Jeneponto
Wisata sejarah saat pulang kampung merayakan lebaran menjadi pilihan yang bagus untuk melakukan revitalisasi semangat cinta tanah air dan sejarah perjalanan bangsa. Saat pulang kampung berlebaran ke Jeneponto, terdapat berbagai pilihan wisata sejarah berupa situs yang mengandung nilai sejarah sosio-politik. Tempat wisata sejarah yang banyak dikenal adalah Komplek Makam Raja-Raja Binamu Kabupaten Jeneponto yang telah dijadikan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, satu diantara 23 cagar budaya lainnya di Jeneponto.
Dari 23 daftar cagar budaya di Jeneponto, sebagian besar berupa makam dan selebihnya adalah masjid tua dan rumah adat. Lima teratas cagar budaya berupa makam yang terkenal adalah Kompleks Makam I Maddi Daeng Rimakka, Kompleks Makam Gallarang Tanginunga Je’ne, Komplek Makam Joko, Kompleks Makam Kalimporo dan Kompleks Makam Karaeng Balang sebagaimana dimuat dalam website: https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Daftar_cagar_budaya_di_Sulawesi_Selatan.
Kompleks Makam Gallarang Tanginunga Je’ne dan Komplek Makam Karaeng Balang, dua diantara 20 Kompleks Makam yang menjadi cagar budaya di Jeneponto merupakan sasaran kunjungan wisata budaya yang menarik ditelusuri. Kedua makam tersebut letaknya tidak terlalu berjauhan di Kelurahan Balang Toa, Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto. Kedekatan lokasi kedua makam cagar budaya diatas mungkin disebabkan oleh kesatuan wilayah kekuasaan kala itu ketika Gallarang Balang sebagai kerajaan bawahan Kerajaan Binamu dipimpin oleh seorang karaeng bergelar Karaeng Balang.
Struktur Pemerintahan Gallarang
Dalam struktur pemerintahan kerajaan di jazirah selatan pulau Sulawesi dikenal nama Gallarang, mungkin sekarang dapat disejajarkan dengan struktur pemerintahan setingkat provinsi kala itu karena kerajaan adalah sebuah entitas negara. Pada masa Kerajaan Binamu dikenal struktur pemerintahan berbentuk Gallarang, seperti diantaranya Gallarang Balang. Hal ini sama halnya dengan Kerajaan Gowa dikenal Gallarang Paccellekang, Gallarang Pattallassang, Gallarang Bontomanai, Gallarang Tombolo, dan Gallarang Mangasa sedang dalam pemerintahan Kerajaan Tallo dikenal Gallarang Seumata, Gallarang Pannampu, Gallarang Moncongloe, dan Gallarang Parangloe.
Pada masa kerajaan di wilayah suku Makassar, Gallarrang termasuk dalam keluarga bangsawan. Seperti pada masa Kerajaan Gowa dipimpin oleh Sultan Alauddin, mengawini seorang anak perempuan Gallarang Moncongloe. Dari hasil perkawinan tersebut, lahir seorang anak bernama Yusuf pada tahun 1626 Masehi yang kelak menjadi ulama terkenal dengan panggilan Syekh Yusuf. Dalam Lontara Syekh Yusuf menceritakan bahwa Yusuf lahir di istana Kerajaan Tallo pada 3 Juli 1626 M/8 Syawal 1036 H dari putri Gallarang Moncongloe dibawah pengawasan Raja Gowa.
Pada masa Kerajaan Gowa, antara Raja dengan Gallarang memiliki pembagian wilayah kekuasaan masing-masing. Menurut Rudiyanto (2018:14-18) dalam tesisnya di Pascasarjana Unhas bahwa pengaturan perkara dalam negeri merupakan wewenang para Gallarang. Raja tidak berhak membuat keputusan menyangkut perkara dalam negeri tanpa kehadiran para Gallarang. Akan tetapi urusan luar negeri yang secara eksplisit disebut urusan perang (bicara bunduk) adalah wewenang Raja. Para Gallarang tidak berhak memutuskan perkara perang tanpa kehadiran Raja.
Pembagian kekuasaan antara Raja dengan Gallarang berdasarkan penegasan Kasuwiyang Salapanga yang mengemukakan 13 pasal kepada Karaeng Bayo sebagai Tumanurunga di Gowa. Pada Pasal 13 berbunyi: “Karaeng tammanappuk bicara ilalang punna taenai gallaranga; Gallaranga tammanappuk punna taenai karaenga” (artinya: Raja tidak memutuskan perkara dalam negeri bila Gallarang tidak hadir; Gallarang tidak memutuskan perkara perang bila raja tidak hadir).
Pada abad ke-17 Masehi, Gallarang di Bulukumba sebagai daerah taklukan tiga kerajaan besar secara bergantian di Sulawesi bagian selatan yakni Kerajaan Gowa-Tallo, Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone. Menurut Karunia dan Sohrah dalam Jurnal Siyasatuna (Vol. 3 No. 2 Mei 2022), akibat perebutan wilayah kekuasaan pada masa itu, akhirnya terbentuklah kerajaan kecil yang membawahi beberapa ke-Gallarang-an. Gallarang merupakan seseorang yang menduduki jabatan sebagai kepala pelaksana pemerintahan wilayahnya berada dibawah kekuasaan suatu kerajaan.
Pada masa revolusi kemerdekaan peran Gallarang juga berperan penting. Seperti kita ketahui Pahlawan Nasional Ranggong Daeng Romo dari Takalar adalah putra sulung dari Gallarang Moncokomba bernama Mangngulabba Daeng Makkio dan ibunya bernama Bate Daeng Jimo. Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda, Ranggong Daeng Romo sebagai anak Gallarang Moncokomba diangkat menjadi komandan barisan pertahanan untuk wilayah Moncokomba merangkap kepala wilayah Ko’mara dalam organisasi kelaskaran Gerakan Muda Bajeng yang kemudian berganti nama menjadi Laskar Lipan Bajeng. Putra Gallarang Moncokomba itu pun memimpin Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) setelah seluruh laskar di Sulawesi Selatan bersatu melawan Belanda.
Namun berbeda dengan pemerintahan Ammatoa dalam suku Kajang setelah memasuki masa kemerdekaan, keberadaan Gallarang memiliki fungsi sebagai pemangku adat. Menurut Kaltsum dkk (2022) dalam studinya identitas politik dalam masyarakat adat Kajang, Gallarang bekerja terstruktur berdasarkan bidang tugas masing-masing. Adapun bidang tugas dan peranan Gallarang yaitu Galla’ Pantama yang bertugas di bidang pertanian; Galla’ Kajang yang bertugas sebagai pemimpin ritual adat dan menangani penghinaan terhadap pasang; Galla’ Lombo’’yang bertugas sebagai penghubung Ammatoa dengan pihak luar yang merupakan Kepala Desa Tanah Toa; Galla’ Puto yang bertugas sebagai juru bicara Ammatoa; dan Galla’ Malle’leng yang bertugas di bidang perikanan dan kelautan (Jurnal Noken, Vol. 8 No. 1 tahun 2022).
Sebagai satu entitas pemerintahan dibawah sebuah kerajaan di wilayah etnik Makassar, Gallarang sebagai kepala wilayah dipimpin oleh seorang Galla’. Kini Gallarang menjadi suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup di tengah masyarakat pasca masa kerajaan. Sebagai satu kesatuan masyarakat adat, memiliki wilayah hukum adat sendiri yang berwenang mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial sesuai adat istiadat yang berlaku setempat. Sekarang ini dalam struktur pemerintahan, wilayah Gallarang kebanyakan setingkat dengan desa atau kelurahan.
Menurut Syahrir Karim (2022) pada masa Orde Baru, jabatan-jabatan strategis di tingkat desa berubah nama dari nama adat menjadi nama formal administratif versi pemerintah. Sebutlah misalnya gelar adat untuk pemerintah desa yang disebut Gallarang yang selama ini berlaku untuk kekuasaan tradisional justru berubah menjadi Kepala Desa sebagai nama administratif formal ala pemerintah. Disisi lain juga struktur kekuasaan adat mulai bergeser penamaan sekaligus fungsionalnya (Jurnal Vox Vovuli Vol. 5 No. 1 Juni 2022).
Lebih lanjut Karim menulis, bahwa sebutan Karaeng dan Gallarang masih eksis sampai sekarang. Walaupun penamaan karaeng dan Gallarang mengalami ketidaksamaan konsep dan makna dalam masyarakat Makassar secara umum. Perbedaan tersebut bisa dilihat dari pemaknaan bahwa bagi mereka yang bergelar Karaeng dan Gallarang itu pada umumnya mempunyai garis keturunan yang jelas. Jejak silsilahnya jelas sebagai pemegang hak darah biru sehingga tidak semua orang bisa diberi gelar tersebut (Ibid.).
Gallarang Balang
Setelah menelusuri kedudukan Gallarang dalam struktur pemerintahan masa kerajaan hingga masa kini, maka situs makam Gallarang Tanginunga Je’ne dengan situs makam Karaeng Balang adalah dua situs makam bangsawan yang menjadi pembesar Kerajaan Binamu saat itu. Sebagaimana berdasarkan penelusuran sejarah, Kerajaan Binamu mulai terbentuk pada Abad 17 dari konfederasi tujuh Kare (kerajaan kecil) setelah berhasil keluar dari hegemoni Kerajaan Gowa melalui suatu pertempuran. Ketujuh Kare yang selanjutnya disebut Karaeng adalah Karaeng Layu, Karaeng Balang, Karaeng Kalimporo, Karaeng Tina’ro, Karaeng Manjangloe, Karaeng Ballarompo, dan Karaeng Tolo. Konfederasi ketujuh Kare yang membentuk Kerajaan Binamu dipimpin oleh Kare Layu sehingga Layu dijadikan sebagai ibukota Kerajaan Binamu kala itu.
Dalam struktur Kerajaan Binamu dibagi atas dua pembagian kekuasaan yang disebut Palili dan Wanua. Palili adalah wilayah otonom bawahan Raja sedangkan Wanua adalah wilayah yang langsung diperintah oleh Raja. Balang adalah satu wilayah Palili bersama Sidenre, Sapanang, Ci’nong dan Tonrokassi. Sedangkan wilayah Wanua meliputi Ujungloe dibagian selatan hingga Rumbia di bagian utara. Sebagai wilayah otonom dalam kekuasaan Kerajaan Binamu, maka Gallarang Balang dipimpin raja kecil yang bergelar Karaeng Balang.
Berdasarkan tinjauan historis secara singkat diatas, maka kedua situs makam cagar budaya yang terletak di Kelurahan Balang Toa merupakan situs penting menunjukkan perjalanan sejarah pemerintahan masa kerajaan. Dengan mempelajari sejarah, membantu generasi masa kini mengetahui akar budaya dan identitas berdasarkan bahasa, adat, hingga norma yang hidup ditengah-tengah masyarakat hingga kini. Wallahu a’lam bissawab (*/)