English English Indonesian Indonesian
oleh

Politik dan Partisipasi Politik Perempuan

OLEH: Sukardi Weda, Guru Besar Universitas Negeri Makassar

Diskursus tentang perempuan menarik untuk dibahas. Ada yang berpendapat, tanpa kehadiran perempuan dalam pengambilan keputusan, maka keputusan itu akan bias, yakni akan merugikan perempuan itu sendiri. Demikian halnya, pengambilan keputusan tanpa kehadiran laki – laki juga akan bias terutama untuk kepentingan kaum lelaki. Dengan demikian, pengambilan keputusan untuk tujuan peran – peran sosial di masyarakat, hendaknya memperhatikan keterwakilan dari kedua identitas gender tersebut.

Di zaman dulu, seringkali perempuan diidentikan dengan dapur, sumur, dan kasur, namun seiring berjalannya waktu, partisipasi perempuan dalam peran – peran sosial kemasyarakatan semakin menunjukkan tren peningkatan, mulai dari lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan lembaga atau organisasi kemasyarakatan dan politik lainnya.

Di dunia tercatat beberapa perempuan yang telah menduduki jabatan strategis, baik sebagai presiden maupun sebagai perdana menteri, serta jabatan – jabatan strategis lainnya, sebut saja diantarnya: Sirimayu Bandaranaike (Perdana Menteri Ceylon), Indira Gandhi (Perdana Menteri India), Golda Meir (Perdana Menteri Israel), Isabel Martinez de Peron (Presiden Argentina), Elizabeth Domitien (Perdana Menteri Republik Afrika Tengah).

Margaret Thatcher (Perdana Menteri Britania Raya, Maria de Lourdes Pintasilgo (Penjabat Presiden Bolivia), Eugenia Charles (Perdana Menteri Dominika), Gro Harlem Brundtland (Perdana Menteri Norwegia), Milka Planinc (Perdana Menteri Yugoslavia), Corazon Aquino (Presiden Filipina), Benazir Bhutto (Perdana Menteri Pakistan), Ertha Pascal-Trouillot (Penjabat Presiden Haiti).

Kazimira Prunskiene (Perdana Menteri Lithuania), Violeta Chamorro (Presiden Nikaragua), Khaleda Zia (Perdana Menteri Bangladesh), Edith Cresson (Perdana Menteri Perancis), Hanna Suchocka (Perdana Menteri Polandia), Tansu Ciller (Perdana Menteri Turki), Kim Campbell (Perdana Menteri Kanada), Sylvie Kinigi (Perdana Menteri Burundi), Agathe Uwilingiyimana (Perdana Menteri Rwanda), Reneta Indzhova (Penjabat Perdana Menteri Bulgaria), Chandrika Kumaratunga (Perdana Menteri Sri Lanka), Claudette Weleigh (Perdana Menteri Haiti).

Hasina Wazed (Perdana Menteri Bangladesh), Mireya Moscoso (Presiden Panama), Helen Clark (Perdana Menteri Selandia Baru), Gloria Macapagal-Arroyo (Presiden Filipina), Ellen Johnson Sifleaf (Presiden Liberia), Michelle Bachelet (Presiden Chili), Han Yyeong-sook (Perdana Menteri Korea Selatan), Portia Simpson-Miller (Perdana Menteri Jamaika), Cristina Fernandez de Kirchner (Presiden Argentina), Yulia Tymoshenko (Perdana Menteri Ukranina), Roza Otunbayeva (Presiden Kirgizstan), Laura Chinchilla (Presiden Kosta Rika), Dilma Rousseff (Presiden Brasil).

Halimah Jacob (Presiden Singapura), Julia Gillard (Perdana Menteri Australia), Mari Kiviniemi (Perdana Menteri Finlandia), Helle Thorning-Schmidt (Perdana Menteri Denmark), Yingluck Shinawatra (Perdana Menteri Thailand), Cisse Mariam Kaidama Sidibe (Perdana Menteri Mali), Angela Merkel (Kanselir Jerman), Samia Suluhu Hassan (Presiden Tanzania), Jacinda Arden (Perdana Menteri Selandia Baru), Sanna Marin (Perdana Menteri Finlandia), dan masih banyak lagi yang tidak disebutkan di sini. Dan untuk Indonesia, sempat mencatatkan Megawati Soekarno Puteri sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia.

Masih banyak deretan perempuan di dunia ini, baik sebagai perdana menteri, wakil presiden, dan menduduki jabatan – jabatan strategis lainnya, namun tidak ditulis di sini. Sebagian diantaranya sengaja dihadirkan dalam tulisan ini meskipun terkesan agak banyak, tetapi tujuannya untuk menginspirasi sekaligius memotivasi generasi muda, terutama kaum perempuan untuk menjadikan para tokoh tersebut sebagai role model.

Peran – peran sosial kaum perempaun terbuka lebar untuk mengisi jabatan – jabatan strategis di berbagai kementerian, departemen, dan organisasi pemerintahan lainnya, selama mereka memiliki kompetensi, seperti kompetensi teknis, kompetensi managerial (kompetensi leadership), dan kompetensi sosial budaya.

Kompetensi – kompetensi ini harus dimiliki oleh siapa saja yang ingin mengambil bagian atau peran dalam membangun bangsa ini, tak terkecuali dia seorang perempuan. Hanya saja untuk mengisi peran – peran sosial tersebut, nampaknya kaum perempuan di Indonesia masih perlu berjuang keras untuk menggapai impian itu, baik sebagai presiden, menteri, dirjen, komisaris BUMN, direktur BUMN, gubernur, walikota, bupati, camat, hingga pada kepala desa, ketua RW, dan ketua RT. Para kaum perempuan diharapkan untuk turut serta mengenyam pendidikan tinggi, juga diharapkan untuk turut ambil bagian dalam organisasi kemasyarakatan, dan organisasi sosial politik, sehingga semakin meneguhkan eksistensi dan kemampuan para kaum perempuan untuk mengisi jabatan – jabatan strategis di legislatif, di eksekutif, dan di lembaga yudikatif.

Partisipasi perempuan Indonesia dalam parlemen masih sangat rendah, seperti dilaporkan oleh World Bank (2019), bahwa Indonesia berada di peringkat ke-7 di ASEAN untuk keterwakilan perempuan di parlemen (Kemenko PMK, 2021). Tingkat keterpilihan perempuan yang hanya di kisaran 17 persen pada hampir setiap pemilu. Padahal jumlah pemilih perempuan pada setiap pemilu lebih besar daripada jumlah pemilih laki – laki. Untuk Pemilu 2024, KPU RI telah melaporkan bahwa berdasarkan hasil rekapitulasi Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Semester I Tahun 2022 untuk tingkat nasional adalah perempuan sebanyak 95.829.962 atau 50,10 persen) dan pemilih laki – laki sebesar 95.193.207 (49,90 persen). Affirmative action kuota 30 persen yang diberlakukan oleh partai politik rupanya juga belum dapat menempatkan keterwakilan perempuan di parlemen sesuai harapan.

Hal ini semakin diperteguh dengan persentase peran kaum perempuan di lembaga – lembaga strategis masih sangat minim, bila dibandingkan dengan posisi kaum laki – laki. Acapkali absennya perempuan di dalam kancah perpolitikan dan pemerintahan akibat stigma budaya patriarkis.

Di samping itu, rendahnya keterpilihan perempuan disebabkan oleh berbagai hal, antara lain: jumlah voters turnout yang rendah, masalah keanggotaan di partai politik, hubungan antara caleg dan partai politik yang tidak lagi ideologis, namun lebih kearah transaksional, masalah kaderisasi dan pendidikan politik yang rendah bagi caleg perempuan, masalah dalam sistem pemilu dan kepartaian yang tidak bepihak pada perempuan, calon anggota dewan dari kaum perempuan cenderung dimarginalkan, yakni ditempatkan pada posisi tidak direkeng atau tidak diperhitungkan, tidak diperhitungkan, biasanya di posisi 3 ke bawah pada daerah pemilihan (Dapil) tertentu dan ditempatkan pada Dapil tidak strategis, dan masyarakat kita masih menganut budaya patriarki (Mursal Maherul & Sriniti Anggita Puri, 2019).

Sejatinya, setiap lembaga dan organisasi sosial politik memberikan ruang kepada kaum perempuan dengan persentase yang tidak terlalu timpang. Hanya saja, kaum perempuan abai untuk berjuang menuntut perannya, acapkali juga kaum perempuan tidak terdorong untuk menduduki suatu jabatan melalui persaingan yang cukup ketat dan menguras pikiran, tenaga, dan energi, sebut saja mereka, para kaum perempuan kadang – kadang kurang tertarik untuk mengikuti pemilihan calon kepala daerah, kalaupun ada tidak banyak jumlahnya. Demikian halnya di lembaga pendidikan, seperti di Perguruan Tinggi (PT), acapkali terbuka ruang untuk berkompetisi menduduki jabatan atau tugas tambahan pada PT tertentu, seperti ketua jurusan, dekan, rektor, tetapi lagi – lagi para kaum perempuan abai dan sepertinya kurang tertarik.

Kalau setiap peluang dibiarkan berlalu begitu saja, lalu kapan kesetaraan dan keadilan (equity dan equality) gender dapat terwujud di negeri ini. Karena sesungguhnya inti demokrasi adalah menjamin kesetaraan politik bagi seluruh warga, tak terkecuali kelompok marginal dan kaum minoritas (Loura Hardjaloka, 2012). Loura Hardjaloka menambahkan bahwa meskipun secara demografis mayoritas penduduk Indonesia adalah perempuan, mereka tak ubahnya mayoritas bisu – kelompok besar yang termarginalkan secara politis, sosial, kultural dan ekonomis yang hampir selalu absen para proses – proses keputusan. Juga belum ada perempuan yang berasal dari kalangan bawah, yang merupakan aktifis perempuan yang memahami betul tentang isu – isu sensitif perempuan yang harus diutamakan (Juniar L. Umagapi, 2019).

Dengan melihat partisipasi dan peran kaum perempuan yang masih rendah, maka para pemimpin di setiap departemen, lembaga, organisasi, dan tak terkecuali adalah partai politik untuk merekrut dan menempatkan kaum perempuan pada tempat – tempat strategis, baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Partai politik tidak boleh abai untuk memperjuangkan hak – hak dan peran – peran sosial kaum perempuan. Dengan melihat proporsi kaum perempuan yang besar dalam setiap pemilu dan pemilukada digelar, maka partai politik dan para elit seyogyanya membuat program pro pada kaum perempuan, sehingga para emak – emak dan kaum perempuan lainnya dari berbagai lapisan, tertarik untuk menggunakan haknya pada setiap pengambilan keputusan politik, sehingga lahir pemimpin yang berkualitas akibat partisipasi pemilih yang tinggi. Bila itu dilakukan, tinggal menunggu kehadiran dan peran para kaum perempuan, ingin maju dan berperan dalam setiap keputusan politik atau menunggu keputusan politik itu lahir tanpa kehadiran mereka, para kaum perempuan. (*)

News Feed