“Olehnya itu, studi tentang biomarker terutama yang digunakan dalam aktivitas berkaitan dengan manajemen sumber daya perairan perlu dikembalikan pada konsep dasarnya yaitu biomarker yang sederhana, yang tidak membutuhkan biaya mahal dan alat yang digunakan tersedia di lab,” jelas Prof. Khusnul.
Di Indonesia, penggunaan biomarker untuk kepentingan pemantauan dan asesmen risiko lingkungan masih sangat kurang, terutama biomarker sederhana. Disamping itu, perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat dalam IT dan IOT adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Biomarker sederhana dalam penggunaannya perlu diintegrasikan dengan IT dan IOT agar penggunaannya lebih mudah, efektif dan efisien.
Prof Mahfud Palo
Pada kesempatan yang sama, Prof Mahfud juga memaparkan tentang penelitian yang dilakukan mengenai ” Jaringan Insang sebagai Alat Tangkap Ikan Ramah Lingkungan untuk Perikanan Berkelanjutan”. Jaringan insang merupakan alat penangkap ikan dengan bentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya.
Diantara alat tangkap yang berbeda, jaring insang dianggap memiliki dampak lingkungan rendah karena interaksi dengan dasar laut sangat minim di sebagian besar keadaan seperti jaring insang permukaan. Selain itu, jaring insang juga menjadi alat tangkap sangat selektif yang menangkap ikan dengan kisaran ukuran sempit sesuai ukuran mata jaring dan target tangkapan.
Lebih lanjut, Prof Mahfud menjelaskan dalam penerapan peraturan pemerintah RI nomor 11 tahun 2023 tentang penangkapan ikan terukur, jaring insang sebagai alat penangkapan ikan yang mempunyai prospek kedepan yang sangat baik karena selektifitasnya sangat tinggi. Jaring insang hanya akan menangkap ikan dalam kisaran ukuran tertentu seperti ukuran ikan yang diinginkan sesuai dengan besarnya ukuran mata jaring yang terpasang saat desain alat tangkap.