Pada tahun 1683 terjadi pertempuran paling hebat dengan Belanda di Padaherang. Akibatnya, pangeran Kidul wafat, anak dan istri Yusuf tertangkap. Meskipun demikian, Yusuf dan pasukannya, terutama orang Makassar dan Bugis, terus bergerilya melawan Belanda, tulis Hamid (2005).
Setelah peristiwa itu, Belanda menggunakan tipu muslihat. Pada 14 Desember 1683, van Happel mengenakan pakaian muslim dengan seorang putri Yusuf bernama Asma masuk ke kubu pertahanan di Kampung Karang (Aji Karang). Dengan bantuan Asma, Happel dapat membujuk Yusuf berangkat ke Cirebon dan selanjutnya, bersama keluarga, 12 santri, dan pasukannya, menuju Batavia. Sementara itu, pasukan Makassar dan Bugis dikirim ke Makassar dengan kapal Belanda pada awal tahun 1684 (Hamid, 2005).
Penangkapan Yusuf mengakhiri perang Banten vs Belanda. Kehadiran Yusuf tersiar ke seluruh Batavia. Ia dipuji sebagai pahlawan besar Banten dalam melawan Belanda.
Yusuf sangat dihormati oleh penduduk setempat. Belanda khawatir umat Islam akan bangkit membebaskannya. Karena itu, pada 22 Maret 1684, Yusuf diasingkan ke Srilanka bersama dua istrinya, beberapa anak, 12 santri, dan sejumlah pelayan. Sepuluh tahun kemudian, ia dipindahkan ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan). Yusuf mengembuskan napas terakhir di sana tahun 1699 (Tujimah, 2005). Spirit perjuangannya mengilhami Nelson Mandela dalam melawan penjajahan bangsa Eropa di sana pada abad ke-20. (*/)