Yusuf sangat dihormati, bukan hanya karena ia adalah Mufti Kesultanan Banten, tetapi juga karena kepribadiannya yang tinggi dengan bobot ilmu yang sepadan dengan akhlak dan perbuatannya. Untuk menjaga ajarannya, Yusuf diminta oleh sultan dan sahabatnya untuk menulis sejumlah karya/kitab agama/tasawuf.
Konsep utama tasawufnya adalah pemurnian kepercayaan pada KeEsaan Tuhan. Menurutnya, Keesaan Tuhan (tauhid) itu tak terbatas dan mutlak. Orang yang tidak percaya pada tauhid adalah orang kafir. Orang yang tidak mempunyai makrifat itu bodoh (jahil), dan orang yang tidak menjalankan ibadah itu berdosa (fasiq) (Azra, 1999).
Yusuf berpandangan positif mengenai manusia. Bahwa setiap orang punya kecenderungan bawaan untuk mempercayai Tuhan. Ia juga menghimbau kepada orang beriman agar tidak mencela atau memandang rendah orang-orang yang tidak mempercayai Tuhan dan yang menjalani kehidupan penuh dosa. Orang yang beriman, kata Yusuf, harus mempunyai pendapat yang baik (husn al-zhann) atas orang-orang yang tak beriman. Karena pandangan inilah, kita tidak menemukan dalam karya-karya Yusuf mencela Belanda, meskipun ia banyak mendatangkan sengsara dalam hidupnya, tulis Azra (1999).
Pahlawan Besar Banten
Ketika Sultan Tirtayasa ditangkap oleh Belanda tahun 1682, Yusuf bersama Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul memimpin 5.000 pasukan Banten, termasuk 1.000 orang Makassar, Bugis, dan Melayu, bergerilya selama setahun.
Belanda melakukan berbagai cara untuk bisa menangkapnya. Gubernur Jenderal menyiapkan hadiah 1.000 ringgit bagi siapa pun yang menangkap Yusuf hidup atau mati. Komandan pasukan Belanda, van Happel, mempengaruhi penduduk Jawa Barat untuk menghadang Yusuf. Namun sebaliknya, penduduk yang sudah mengetahui ketenaran dan kesalehan Yusuf, justeru ikut bergerilya dengannya.