Seluruh instrumen Pemilu, seperti kertas suara yang bermasalah, kesalahan input data, quick count dan exit poll, jika tidak dilaksanakan menurut prinsip ilmiah, perubahan angka peroleh suara kandidat, pengerahan aparat negara untuk mendukung calon tertentu, merupakan pure the will to power. Semua itu, semata-mata hasrat berkuasa yang menegasikan prinsip transendental Pemilu.
Tata moral dan tata nilai terus-menerus menggerogoti subyek sepanjang tahapan Pemilu berlangsung. Masing-masing pihak saling menegasikan, meskipun tidak sampai pada kekerasan dan konflik fisik. Produksi diskursus yang masif dan daya tekan kekuasaan formal pada skala tertentu, adalah merupakan perangkat populisme otoriter, yakni kekuasaan yang diperoleh melalui politik elektoral yang dimanipulasi melalui tekanan birokrasi kekuasaan.
Kemenangan para “pemburu” kekuasaan untuk memenuhi hasratnya melalui cara culas dan tidak demokratis, menjadi pemantik utama lahirnya kekuasaan yang melanggar prinsip konstitusi. Maka, proses sangat penting sebelum hasil. Hasil pemilu adalah “memeluk” kekuasaan, dan itulah tujuannya. Tetapi karena ada ragam dan banyak subjek yang terlibat “merebut” kekuasaan itu, pasti persinggungan tak bisa dihindari. Persinggungan inilah yang menyebabkan banyak rintangan, dan jika rintangan tidak dapat dilewati dengan cara-cara yang benar berdasarkan hukum, maka subyek akan mengabaikan kebenaran dan hukum itu. Dengan satu catatan, kekuasaan dapat diperoleh.
Akibatnya, watak dasar manusia sebagai makhluk politik kembali natural. Insting natural sebagai hewan politik ini menegasikan seluruh anasir kebenaran. Positivisme hukum sebagai pembatas, diterabas dengan cara culas dan buruk. Kekuasaan tak diperoleh dengan mematuhi nilai dan prinsip yang telah ditetapkan secara positivis, tetapi berpijak pada kehendak subjek.