“Banyak kasus bagi yang berangkat tidak resmi. Kekerasan fisik dan seksual, di-PHK sepihak, bahkan diperjualbelikan. Kalau di-PHK, mereka malu pulang karena keluarga taunya mereka bekerja, bahkan gajinya rendah karena tidak ada perjanjian kerja. Mereka berisiko dieksploitasi bahkan 20 jam kerja, padahal pekerjaan resmi cukup 10 jam,” ungkapnya.
Selanjutnya bagi PMI yang bekerja secara non prosedural, kondisinya tidak pernah dicek, tidak pernah menjalani medical check up, tidak ada asuransi. Sehingga ketika mereka ingin berobat, tidak ada asuransi yang dimiliki.
“Kalau yang resmi, sebelum berangkat mereka dijamin sehat, karena TBC saja tidak boleh. Terus kalau di sana sakit, mereka dibiayai pengobatannya karena tercover asuransi, baik dari BPJS tenaga kerja maupun perusahaan tempatnya bekerja,”bebernya.
Benny juga menjelaskan, selain dari PMI yang wafat dan dideportasi, ada juga seitar 3.400-an yang dipulangkan karena sakit. Kondisi ini saja sebenarnya sudah menunjukkan bahwa kemampuan negara dalam menciptakan lapangan kerja di dalam negeri masih lemah.
“Empat tahun sejak saya dilantik menjadi Kepala BP2MI, terhitung dari tahun 2020 dan sekarang awal tahun 2024, sudah 110.641 PMI dideportasi. Kemudian ada 2.597 PMI yang kembali ke tanah air dalam keadaan meninggal. Itu ada dua atau tiga peti jenazah yang masuk melalui bandara,” bebernya.
Melihat kondisi ini, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulsel, Ardiles Saggaf menegaskan, pihaknya senantiasa menjalin kolaborasi dengan pihak terkait, untuk memastikan PMI asal Sulsel dalam kondisi baik-baik saja.