Saat Gibran berhadapan dengan Mahfud MD, ia tunduk seakan sedang mencari jawaban Mahfud sebagai bahasa tubuh ledekan dan sebagai balasan atas jawaban Mahfud yang menganggap ocehan Gibran recehan. Ini persis gaya pendukung Saudi Arabia yang sedang mencari personel Argentina, Lionel Messi, yang kalah 2-1 dan menggeleng-gelengkan kepala penonton dan pemirsa TV, serta menggegerkan dunia persepakbolaan.
Ledekan Gibran ditanggapi oleh netizen, bahwa mungkin Gibran sedang mencari etikanya yang hilang atau memang tidak pernah dimilikinya. Penampilan Gibran dalam debat cawapres kedua ini makin menunjukkan siapa Gibran yang sesungguhnya. Gibran ingin menunjukkan bahwa apa yang ditanyakan padanya bisa dijawab.
Jawaban-jawaban Gibran sangat teknikalitas dan ketika masuk ke konstalasi berpikir, dia tidak mampu menatanya karena dasarnya adalah kemampuan akademis yang mumpuni, bukan pembekalan satu dua minggu untuk menghadapi debat.
Ketidakmatangan Gibran dari segi usia (dan pengetahuan) menunjukkan signifikannya usia yang matang sebagai salah satu syarat menjadi cawapres yang diubah oleh Mahkamah Konstitusi. Ketidakmatangan itu juga membuatnya menjadi tak beretika dalam menghadapi lawan politiknya di debat cawapres.
B.J. Habibie pernah berpesan bahwa: “Jangan berdebat dengan orang bodoh” karena satu orang bodoh diberi 30 fakta, maka dia akan tetap membantah, tetap berdalih, dan tetap menganggap dia benar. So, it’s wasting your time, right! (*)