Oleh: Nurul Husnul Humaerah*
Diskursus ihwal poligami tak pernah usai. Akan menjadi sengit ketika pendekatannya menggunakan paradigma agama.
“Ma, papa nikah lagi, ya? Insyaallah, jika mama ikhlas, Allah janjikan surga. Dan Insyaallah papa akan berlaku adil”.
Kalimat itu dilontarkan dengan mudahnya oleh seorang lelaki yang sebut saja dia Farhan. Dia mengucapkan kalimat itu dengan sangat mudah dan terdengar renyah di hadapan istrinya yang saat itu hanya diam terpaku mendengar penuturan lelaki yang dibersamainya selama enam tahun.
Dalam dunia yang penuh dengan kompleksitas etika, agama, dan budaya, poligami memang telah menjadi topik yang selalu memancing perdebatan selama bertahun-tahun. Sebuah praktik dalam pernikahan yang memungkingkan seorang pria memiliki lebih dari satu istri secara bersamaan. Apakah poligami itu anjuran? Poligami itu budaya?
Sebuah hadis membahas tentang poligami yang disampaikan oleh Rasulullah Muhammad saw, “Barang siapa yang memenuhi kebutuhan (materi) dua istri, maka hendaknya dia kawin dua, dan barangsiapa yang tidak mampu, hendaknya dia kawin dengan seorang saja.”
Syarat Ketat
Hadis tersebut tidak melarang dan juga tidak menganjurkan poligami itu terjadi, tetapi lebih menekankan seseorang yang melakukan poligami, hanya jika mampu memenuhi kebutuhan materi dan keadilan terhadap istri-istrinya. Kemudian dalam QS. An-Nisa: 3 memberikan izin untuk poligami dalam Islam dengan beberapa syarat.
Pertama, keadilan. Seorang suami yang ingin memiliki lebih dari satu istri harus bersikap adil terhadap semua istri secara materi, emosional, dan waktu. Jika tidak mampu berlaku adil, maka dianjurkan hanya memiliki satu istri.