Juru parkir (jukir) liar, seolah tak ada habisnya. Seolah diberantas satu, tumbuh seribu. Setiap titik keramaian, menjadi lahan mendulang rupiah.
Tak ada pihak yang mau bertanggung jawab atas maraknya jukir liar ini. Semua saling tuding. Imbasnya, masyarakat yang harus merogoh kocek untuk membayar tarif yang sebenarnya masuk ke kantong jukir liar itu sendiri.
Setali tiga uang, jukir liar ini tak ada bedanya dengan pak ogah yang beroperasi di setiap U-turn. Sama-sama menjamur tak terkendali. Perbedaan mereka hanya soal lahan. Satu di tengah jalan, satunya di tepi jalan.
Balik lagi ke soal jukir liar. Bahkan tulisan “PARKIR GRATIS”, tak dipedulikan para jukir liar ini. Minimarket, gerai ATM, apotek, gerai kuliner di pinggir jalan, bahkan kantor-kantor yang ada sekuritinya juga dimasuki oleh jukir liar ini.
Ini sudah sangat meresahkan. Jukir liar dan pak ogah bukan profesi. Aksi mereka sudah termasuk premanisme. Ada unsur pemaksaan di dalamnya. Ketika tidak diberikan uang, mereka tak segan-segan melakukan aksi kekerasan maupun pengancaman.
Pemilik kendaraan jelas terpaksa mengeluarkan uang tak sedikit untuk membayar jasa jukir liar yang bermodalkan sempritan.
Bayangkan saja jika setiap ke suatu tempat harus membayar minimal Rp2.000. Jika dalam sehari mendatangi lima lokasi berbeda, maka Rp10.000 melayang percuma. Lalu bagaimana jika uang di kantong pas-pasan? Pas cuma untuk beli bensin. Atau pas cuma untuk beli makanan.
Kondisi ini butuh solusi. Soal jukir liar dan pak ogah, harus ada yang bertanggung jawab. Masyarakat butuh rasa aman dan nyaman. Bukan rasa tertekan, apalagi sampai kehilangan uang yang kerap dianggap tak seberapa. (*)