Saya mendengar ada suara yang gemetar, ada suara yang betul-betul bergelora, tetapi semuanya bersama-sama memperdengarkan satu lagu “Indonesia Raya” yang membangkitkan keharuan hati”.
Kembali kepada Lina, Bung Karno menuturkan: “Meskipun bermacam-macam alat, tetapi oleh karena ada pimpinan, pertama pimpinan daripada satu lembaran kertas, — apa namanya itu noot, bahasa Indonesianya not.
Pola pembangunan yang dibuat oleh Dewan Perangcang Nasional ini, itulah kertas notnya.
Penyelenggara dari-pada pola ini, masyarakat ini tadi, yang terutama sekali terdiri daripada tenaga-tenaga fungsionil, menyelenggarakan pola ini bersama-sama di dalam satu irama yang merdu sehingga terselenggaralah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila …”
Kertas not sebagai blueprint pembangunan bangsa dan negara menuju masyarakat yang dicita-citakan, di era kepemimpinan Presiden Soeharto, wujudnya adalah GBHN yang dipersiapkan oleh MPR. Namun dalam masa pasca amendemen UUD 1945 pada 2002, Indonesia tidak lagi mengenal GBHN.
Presiden dan Wakil Presiden terpilih bukan lagi mandataris MPR, mereka tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Mereka tidak lagi terikat oleh satu panduan yang harus dipatuhi. Akibatnya, negara kelihatannya telah dikelola secara ugal-ugalan.
Tidak salah jika Gus Mus melukiskan keadaan negeri ini dengan puisi singkatnya: “Ada sirup rasa jeruk dan durian, ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan.”
Sejak amandemen terakhir UUD 1945 pada 2022, terutama dalam satu dekade terakhir, terlihat dua dampak fatal yang telah mengancam eksistensi NKRI.