Oleh: Prof M Qasim Mathar*
Sebagai warga masyarakat bangsa, apakah pembaca tidak merasa denyut politik pemilu makin kencang? Demam politik makin tinggi? Alhamdulillah, kalau tidak merasa.
Saya menganggap Anda, pembaca yang demikian adalah warga bangsa yang tetap tenang dan sabar di tengah dinamika politik pemilu yang tensinya makin meninggi. Tensi politik yang makin meninggi mendorong netizen (warganet) bertutur dengan kawan segrup di media sosial (medsos) dengan tutur orang yang sedang berdebat.
Debat dalam arti yang sesungguhnya. Mereka mencari kemenangan dengan berusaha sekeras-kerasnya mengalahkan lawan debat. Orang Bugis menyebut debat itu “mappangewang”. “Mappangewang” kurang lebih sama dengan bertengkar dengan tutur kata. Dalam tradisi Bugis, dikenal juga istilah “tudang sipulung”.
“Tudang sipulung” searti dengan istilah berbahasa Arab yang sudah diserap menjadi bahasa Indonesia, yakni musyawarah. Di dunia akademik, musyawarah dekat searti dengan istilah diskusi. Aktivis mahasiswa juga mengenal istilah debat. Bagi para aktivis, debat mengesankan sebagai bersitegang leher. Para aktivis itu menghormati forum diskusi. Bagi aktivis itu, menghadiri forum debat bagai menonton orang yang bertengkar mulut. Ya, “mappangewang”.
Sementara saat ini, medsos diramaikan oleh suasana debat atau “mappangewang” justru oleh mereka yang dulu adalah aktivis mahasiswa-pemuda. Pada usia mereka yang sekarang, rata-rata lulusan universitas, mereka terperosok ke jurang debat yang memerosotkan keterpelajaran mereka dan mengotori medsos. Mereka bersama warganet lainnya, menonton debat capres/cawapres hanya untuk mencatat bagian-bagian dari debat tersebut, untuk besok dan hari-hari selanjutnya, dipakai untuk menjelekkan dan merendahkan capres/cawapres yang bukan pilihannya.