Oleh: M Qasim Mathar*
(kolom Jendela Langit FAJAR)
“Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah Swt”.
Itulah tujuan dari organisasi kemahasiswaan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang tertulis pada pasal 4 Anggaran Dasar (AD). Tujuan tersebut biasa juga disebut sebagai Insan Cita HMI. Artinya, organisasi ini bertujuan membangun dan mencetak mahasiswa menjadi insan akademis, insan pencipta, insan pengabdi yang bernapaskan Islam. Plus insan yang bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah.
Cita itu sudah diproses sejak awal seorang mahasiswa menjadi anggota HMI. Anggota HMI dibimbing dan dilatih, misalnya, dalam pengkaderan berjenjang dari mulai jenjang awal terus ke jenjang yang lebih tinggi. Berbagai pengetahuan dan keterampilan diperoleh melalui pengkaderan itu, yang banyak di antaranya tidak didapatkan di fakultas tempat mereka studi.
Insan Cita itu… mengambil bentuknya yang paling mutakhir pada perilaku brutal, tidak beradab dan berkelahi. Baik peserta HMI-wan, maupun HMI-wati (Kohati) di Kongres HMI baru-baru ini di Pontianak (24-29 November 2023).
Teringat saya, kongres-kongres HMI dulu-dulu. Memang ada debat panas. Akan tetapi, yang didebat adalah gagasan baru yang dibawa ke kongres oleh salah satu pengurus HMI cabang. Debat itu di sidang komisi hingga masih panas di sidang pleno kongres. Pada akhirnya, pleno bisa memutuskan tanpa terjadi akhlak buruk seperti yang terjadi di Pontianak.
Entah dari mana pangkal akhlak buruk (kekerasan dan kekasaran) dalam berorganisasi itu. Adakah itu diajarkan di training berjenjang HMI; atau itu teladan dari senior mereka? Atau, adakah pangkalnya ketika organisasi kemahasiswaan ini disusupi paham keagamaan yang radikal yang memecah HMI menjadi HMI “Dipo”(-negoro) dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi)?
Mungkin juga keterpelajaran (insan akademik) sebagai salah satu ciri utama HMI diseret oleh arus deras selera politik KAHMI (Korps Alumni HMI)? Tentu HMI tidak menerima kalau dikatakan bahwa kelakuan tidak beradab di Kongres Pontianak itu adalah cerminan HMI sekarang.
Namun, beberapa konferensi cabang di daerah, sudah biasa, kalau tak akan disebut seringkali, melahirkan kepengurusan kembar (ada dua pengurus HMI cabang di satu kota), merupakan tanda bahwa kualitas organisasi ini sedang melorot dan merosot drastis.
Kalau begitu, berteladan kepada HMI saat ini, pentingkah atau tidak perlu lagi? Termasuk pandangan dan sikap politik para aktivisnya, misalnya, dalam konteks Pemilu 2024 nanti, sudah bukan hal yang ideal untuk diikuti, terutama bila diingat sifat independensi HMI yang terkenal itu.
Terbetiklah harapan pada masa kampanye ini, bahwa tokoh dan kader HMI mengambil peran menjaga hari-hari kampanye berlangsung damai dan gembira dengan memosisikan diri netral, seraya menyemangati ketiga paslon capres-cawapres untuk berkompetisi secara sehat. Kecuali jika orang HMI itu adalah “petugas partai yang ditugaskan sebagai Tukang Kampanye”. Bukan Insan Cita HMI! (*)
Redaksi:
Prof Qasim Mathar merupakan kolumnis FAJAR. Pernah menjadi kader HMI, ia selalu melihat eks organisasinya itu dalam perspektif kritis: moralitas dan intelektualitas.