English English Indonesian Indonesian
oleh

Demokrasi di Balaikota

SUDAH sepekan ini, Pemkot Makassar terkesan menutup akses terhadap media. Utamanya FAJAR, yang selama ini memang vokal dan kritis mengawal kebijakan pemkot.

Di bawah komando Wali Kota Makassar Moh Ramdhan Pomanto yang akrab disapa Danny Pomanto alias DP, sikap itu antikritik dipertontonkan. Terang-terangan menolak wawancara dan tak meladeni konfirmasi wartawan yang sejatinya terkait dengan kebijakannya sendiri.

Dalam era demokrasi, yang salah satunya menempatkan pers sebagai pilar keempat, sikap memblokade akses jurnalis ini sangat kontraproduktif. Sebab, di pundak pemimpin sebuah daerah, ada hak masyarakat yang perlu dilayani berupa informasi. Peran penyampai ini, yang oleh UU No 40/1999 tentang Pers, disematkan di pundak jurnalis.

Dalam pasal 4 ayat 3, misalnya, disebutkan: “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”

Sebelumnya, pasal 2: “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” Lalu, pasal 3, ayat 1: “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.”

Salah kaprah Pemkot Makassar jika menganggap informasi merupakan milik privatnya. Sebab, mereka merupakan alat negara yang di situ ada hak warga untuk mengaksesnya melalui perantaraan wartawan.

Ada kekhawatiran, sikap pemkot yang menutup akses wartawan di Balaikota, merupakan reaksi atas antikritik. Selama ini, FAJAR getol menyuarakan keberimbangan kekuasaan, lantaran menjalankan fungsi sebagai pilar demokrasi. Akan lebih berbahaya, ketika kekuasaan dijalankan tanpa kontrol pers.

Pun akan sangat berisiko jika pemerintah hanya mau membaca berita yang positif saja. Sanjugan berlebihan, kadangkala menjadi pintu kehancuran. Terlepas dari itu, sejatinya menjadi pelayan masyarakat memang harus kuat mental.

Pejabat dengan sikap alergi terhadap pemberitaan akan menanggap media kritis sebagai musuh. Hal ini akan berbahaya bagi masa depan demokrasi dan keberlanjutan pengelolaan pemerintahan ke depan.

Kondisi ini diperparah dengan sikap para pejabat di struktur atas hingga bawah yang ikut menutup diri. Atas kondisi itu, kemudian muncul dugaan gerakan TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) untuk tak memberi ruang informasi kepada media yang dianggap musuh karena kritis terhadap kebijakannya.

Indikasi ini, salah satunya, bisa dilihat dengan fakta sejumlah wartawan ditendang dari grup WhatsApp milik Humas atau Bidang Infokom Pemkot Makassar. Padahal, humas mestinya menjadi mediator antara pejabat dan media, dalam situasi apa pun.

Kita berharap pemkot segera sadar bahwa ada tanggung jawab publik di pundak mereka yang harus diawasi pelaksanannya. Sikap antikritik dan selamanya berharap berita sanjungan, hanya akan menjadi bom waktu pada masa depan. (*)

News Feed