Oleh: Prayuda Said*
Sinrili sebagai cara kita untuk merawat dan mengambil pelajaran terhadap pesan-pesan masa lalu. Pesan-pesan dengan kedudukan yang sangat tinggi dalam peradaban.
PADA akhir Oktober 2023, saya memperlihatkan tulisan saya kepada Daeng Rate, seorang pasinrilik (pemain sinrili). Pada tulisan tersebut saya membahas tentang hubungan tidak langsung antara sinrili (dalam bahasa Makassar ditulis dengan sinrilik, red)dan jaz sebagai sebuah seni improvisasi yang lahir dan tumbuh di masyarakat tradisional Sulawesi Selatan.
Pada Sabtu sore, 11 November 2023, Daeng Rate mengirimi saya sebuah artikel yang diterbitkan oleh Harian Fajar. Sebuah esai yang menurut pengakuannya mulai digarap setelah pertemuan terakhir kami. Daeng Rate dalam tulisannya menceritakan pertunjukan yang interaktif mengenai tradisi penggunaan bilah besi sebagai senjata di Sulsel.
Menurut saya, tidak banyak praktisi sinrili yang mampu menemukan jalan untuk menghubungkan aktivitas bertutur dan menulis sepertinya. Namun, ada yang belum selesai pada diri saya setelah membaca narasinya.
Bilah Besi
Daeng Rate menceritakan ketertarikannya terhadap sejarah bilah besi sambil berupaya menjelaskan sinrili sebagai sebuah medium penceritaan. Hal ini cukup baik. Tetapi, menurut saya akan membuat pembaca awam terganggu fokusnya apakah harus terpukau pada sejarah bilah besi, atau pada sinrili sebagai seni tutur.
Hakikat sinrili adalah hiburan yang tumbuh di tengah masyarakat, sekaligus sebagai pendokumentasi zaman melalui syair-syair. Bilah besi dalam pendapat lain, adalah simbol kemakmuran. Saat orang memiliki bilah besi, ia jadi penuh semangat. Sehingga pada masa lalu, salah satu pekerjaan yang paling dihargai adalah panre (pandai besi). Selain tentu para penulis (penyair).
Akan tetapi, kemudian bilah besi sebagai pusaka menjadi glorifikasi. Padahal besi dimiliki oleh semua orang sekalipun dalam bentuk berbeda. Cangkul, misalnya. Daeng Rate dengan sinrili-nya seharusnya memahami hal tersebut. Bukan hanya menyanjung bilah besi sebagai pusaka, tetapi juga menekankan bahwa ada jenis besi lain yang sekalipun adalah produk kebudayaan, tidak menikmati glorifikasi sebagaimana besi sebagai pusaka.
Sinrili sebagai seni mungkin tidak jauh berbeda nilai dan kedudukannya dengan bilah besi di dalam sejarah peradaban masyarakat. Tetapi sinrili sebagai cara kita untuk merawat dan mengambil pelajaran terhadap pesan-pesan dari masa lalu memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam peradaban. Ia adalah alat perekam sekaligus penyimpan dan penyampai informasi tentang situasi sosial saat syair itu terbentuk.
Ambillah contoh narasi yang disampaikan Daeng Rate dalam sinrili “I Maddi Daeng Ri Makka”. Syair yang padat dengan nilai-nilai keberanian dan integritas seorang laki-laki Makassar lengkap dengan bumbu perseteruan dua bangsawan, hingga tragedi yang mengakhirinya. Melalui analisis yang mendetail, kita dapat melakukan kodifikasi informasi yang terkandung dalam syair tersebut seperti yang dilakukan oleh Daeng Rate terhadap metode penamaan pusaka “I Maddi Daeng Ri Makka” dan Karaeng Bontotangnga. Tetapi tidak semua orang mampu meluangkan waktu untuk melakukan analisis sepertinya.
Penanda Sejarah
Sebuah analogi mungkin cukup dapat menggambarkan tentang hal ini. Menurut para ahli, jika kita melihat cahaya bintang malam ini, maka kita sedang melihat pancaran cahaya dari berpuluh tahun silam. Baru terlihat oleh mata kita karena jaraknya yang amat jauh sehingga membutuhkan waktu untuk sampai pada kita. Lalu bagaimana jika cahaya itu tertutup oleh awan? Bisakah ia sampai pada mata yang tepat?
Begitu juga dengan sinrili. Sebagai pesan dari masa lalu, hari ini ia hanya dilihat sebagai sebuah seni tutur tanpa penanda sejarah yang terkandung di dalamnya. Hal ini membuat adanya missing link antara narasi peradaban masa lalu dengan yang terjadi hari ini. Akan sulit bagi Daeng Rate dan pelaku sinrili lainnya untuk melestarikan Sinrilik sebagai produk budaya yang juga merekam, menyimpan, dan menyampaikan produk-produk kebudayaan lain yang terhimpun sebagai syair di dalamnya.
Usaha-usaha yang intensif tentu saja dilakukan. Tetapi, usaha ini belum memiliki fokus dan struktur yang terkoordinasi dengan baik antara pelaku dan pemerhati sinrili. Situasi ini akhirnya membuat narasi peradaban yang dibawakan oleh seorang pasinrilik tidak lebih dari sebuah syair yang ditampilkan untuk menghibur para tamu petinggi dari luar yang bahkan memahami bahasa Makassar pun tidak.
Sinrili sebagai narasi peradaban harus dimasifkan. Saya menyadari ada nilai personal yang melekat pada syair yang dibawakan oleh pasinrilik. Tetapi, rekaman peristiwa dan nilai peradabannya adalah sebuah pesan dari masa lalu, yang seharusnya dapat sampai sebagai cahaya pengetahuan bagi manusia di hari ini.
Proses kreatif yang hadir pada sinrili ditambah dengan narasi peradabannya seharusnya bisa menjadi stimulan yang baik bagi para pelaku dan pemerhati sinrili untuk lebih memahami proses perubahan peradaban di tengah masyarakat. Keberhasilan Daeng Rate tentu kita nantikan. Narasi peradaban harus tersampaikan kepada generasi hari ini. Tanpa usaha tersebut, tentu nilai sinrili hanya akan menjadi cahaya bintang yang tertutup awan. Tidak akan pernah sampai di mata yang tepat. (*)
*Penulis adalah ASN di Gowa