Oleh: Andi Arfan Sahabuddin,S.H.,M.H.
Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum universitas Islam Makassar
Ahli hukum dan filsuf, Hans Kelsen, dengan the pure theory of law menitahkan bahwa hukum itu harus dijaga kemurniannya. Teori hukum murni ini berpegang pada norma atau kaedah yang sudah ditentukan, di mana hukum tidak boleh diintervensi oleh anasir-anasir non yuridis seperti sosial, ekonomi, terlebih politik. Namun, bagaimana dalam praktiknya, khususnya bagi kita di Indonesia? Mungkinkah hukum bisa terbebas dan membebaskan diri dari beragam pengaruh?
Alat Melindungi Masyarakat
Hukum, meskipun dianggap sebagai alat penting untuk melindungi masyarakat dari ketidakadilan penguasa, pada kenyataannya, hanya menjadi sebuah konsep yang tidak dapat diwujudkan, terutama dalam konteks keadilan. Keterwujudan hukum sebagai penjaga keadilan terhambat oleh kenyataan bahwa hukum itu sendiri merupakan produk politik yang dibuat oleh lembaga politik, legislatif dan eksekutif. Tidak mustahil bahwa, dalam prosesnya, lembaga-lembaga itu secara laten memiliki agenda pribadi dan kelompok. Dengan penguasa yang bertanggung jawab, baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan hukum, maka kekuatan hukum menjadi lemah, tidak mencapai keadilan sebagaimana dicitakan. Penyebabnya, karena politik memiliki peran dominan dalam realitas hukum yang hidup di tengah masyarakat.
Padahal, hukum seharusnya menjadi instrumen utama dalam menjaga ketertiban masyarakat dan menegakkan keadilan. Ironisnya, seringkali hukum justru digunakan sebagai pedang tebas politik. Hal ini terjadi ketika penegakan hukum dan kebijakan hukum disalahgunakan untuk kepentingan politik. Kebijakan hukum di sini dimaknai sesuai kepentingan politik kekuasaan. Bukan semata penegakkan hukum an sich. Kondisi ini tentu sangat membahayakan prinsip dasar hukum yang seharusnya bersifat independen dan berlandaskan pada fakta, bukan pada agenda politik tertentu.
Beberapa praktik hukum yang digunakan dalam isu-isu aktual menjelang pesta demokrasi, kerap dibaca publik sebagai cara penguasa menghadapi lawan politik. Pada sisi ini, hukum dicurigai telah ditunggangi sebagai alat politik. Secara lugas dapat dikatakan, hukum disalahgunakan demi dan untuk kepentingan politik penguasa.
Jadi Pedang Politik
Ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan, terkait pernyataan di atas. Pertama, pemerintah dan/atau partai politik tertentu, terkesan dapat menggunakan proses hukum untuk mengintimidasi, atau bahkan mengkriminalisasi lawan-lawan politik mereka. Ini merupakan bentuk penyimpangan hukum yang serius dan merusak demokrasi.
Kedua, hukum yang digunakan sebagai pedang politik, juga dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam perlakuan hukum. Ketika pemerintah atau elit politik menggunakan hukum untuk melindungi diri mereka sendiri atau kelompok mereka—dan mengabaikan pelanggaran yang dilakukan oleh mereka yang memiliki pandangan politik yang selaras—maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum pun akan terkikis.
Ketiga, ketika hukum menjadi pedang politik, hal ini juga dapat mengakibatkan polarisasi yang lebih besar dalam masyarakat. Kasus-kasus hukum yang dikotak-kotakkan menjadi perdebatan politik dapat memecah belah masyarakat dan menciptakan perpecahan yang sulit diatasi. Tentu ini dapat mengancam stabilitas sosial dan politik suatu negara.
Menjaga Independensi
Bahasan sederhana ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga independensi lembaga-lembaga hukum dari pengaruh politik. Lembaga-lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, dan peradilan, harus bekerja secara independen dan tidak tunduk pada tekanan politik. Ini adalah prasyarat bagi sistem hukum yang adil dan efektif. Pasalnya, ketika hukum menjadi pedang tebas politik, maka itu akan merusak prinsip-prinsip dasar hukum dan mengancam demokrasi.
Untuk menjaga kepercayaan masyarakat dalam sistem hukum dan memastikan bahwa hukum berfungsi sebagaimana mestinya, maka penting bagi negara untuk menghindari penyalahgunaan hukum demi kepentingan politik kekuasaannya. Lembaga-lembaga hukum harus dijaga independensinya karena di situlah muruahnya. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa hukum tetap menjadi alat yang adil dalam menjaga ketertiban dan keadilan dalam masyarakat.
Kita terpanggil bersikap kritis, ketika melihat hukum takluk di bawah kekuasaan politik. Karena, dalam situasi seperti itu, pedang hukum akan tajam menghadapi lawan politik, sebaliknya jika sejalan dengan penguasa, maka akan tumpul dan bahkan bisa berubah menjadi tameng kepada yang setia dan seia sekata. Lantas, ke mana entitas Ilahi yang dititipkan pada sila ke-5 Pancasila? Mungkinkah ada politik hukum dalam penegakan hukum di Indonesia, sebagai pengejawantahan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Tidak berlebihan jika Prof Sri Soemantri, pernah mengkonstatasi hubungan antara hukum dan politik di Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Tokoh Ilmu Hukum Tata Negara itu mengibaratkan hukum sebagai rel, sedangkan politik diibaratkan lokomotifnya. Menurutnya, sering terlihat lokomotif itu keluar dari rel yang seharusnya dilalui. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan konsep hukum yang seharusnya terfokus pada keadilan dalam memainkan peran sentralnya di masyarakat. (*)