Salah satunya adalah pandangan masyarakat terhadap ras dan bahasa lain, seperti kulit putih dan Inggris, yang dianggap lebih baik daripada mereka. Motha menyebut perspektif kolonisasi kontemporer seperti ini (Motha, 2020). Rasisme linguistik jenis ini bermula dari pandangan memandang rendah masyarakat dan bahasa ras lain serta menempatkan negara dan bahasa tersebut di atas bahasa sendiri. Salah satu kasus yang menggambarkan gagasan ras inferioritas adalah banyaknya kritik mengenai kemampuan bahasa Inggris Presiden Indonesia Jokowi yang dianggap kurang memadai dibandingkan kemampuan bahasa Inggris para pemimpin dunia lainnya (lihat Kominfo.go.id). , 2020). terdapat pernyataan yang jelas bahwa kemampuan Presiden Jokowi berbicara dalam bahasa Inggris dapat mempermalukan dan merendahkan Indonesia.
Konteks diluar ruang akademik sebenarnya juga banyak terjadi dan dilanggengkan secara tidak sengaja, misalnya kasus rasisme kebahasaan individu yang cukup meresahkan yang dilakukan oleh para buzzer politik sebagai akibat dari masih adanya polarisasi politik pasca pilpress 2018 silam. Para buzzer ini turut menyumbang jumlah kasus rasialismee melalui bahasa dengan memunculkan kosakata-kosakata baru yang bernada rasis seperti ‘kadrun’ (kadal gurun) yang merujuk pada orang-orang Arab (Heriyanto, 2019), ‘aseng’ yang merujuk pada orang-orang Tiongkok, ‘antek barat’ yang merujuk pada orang-orang yang pro pada liberalism yang dimotori Amerika Serikat, dll, yang mana fenomena ini memperkeruh situasi kebahasaan di Indonesia. Hingga sekarang kosakata-kosakata rasis ini masih tetap digunakan dan intensitas penggunaannya di media sosial makin lama makin besar.