Peran dan tanggung jawab utamanya adalah mengabdi kepada Dewata (Tuhan). Dengan kata lain kehadiran Bissu, bagi masyarakat Bugis sangatlah disakralkan.
Peranan bissu dalam masyarakat Bugis, pertama kali, kita dapat melacak keberadaannya melalui pengisahan dalam epos I La Galigo yang mengungkapkan, salah satu manusia pertama yang turun ke bumi, yakni seorang bissu. Turunnya bissu ke bumi diceritakan sebagai awal mula terciptanya suatu peradaban.
“Tengah hari cuaca gelap gulita, taufan dan badai turun. Puang matoa dari Lae-Lae, I We Salareng dan We Apanglangi, kepala bissu dari Ware dan Luwu turun ke bawah dengan perlengkapannya, taufan dan badai pun reda.”(Kern, 1989: 34).
Kutipan di atas menjelaskan keberadaan bissu di dunia sebagai penghapus ‘bencana’ yang ditunjukkan melalui frasa taufan dan badai pun berlalu setelah turunnnya bissu. Masyarakat Bugis percaya bahwa manusia pertama yang turun ke bumi didampingi oleh bissu.
I We Salareng dan We Apanglangi merupakan bissu pertama yang kehadirannya menjadi pendamping Raja Luwu yakni Batara Guru yang merupakan putra sulung dari Maharaja Agung di Kahyangan yang diturunkan dari langit ke Luwu.
Bissu sebagai pelengkap kesempurnaan para tokoh utama yang dianggap manusia istimewa seperti yang terungkap dalam I La Galigo. Hal itu membuktikan pentingnya keberadaan bissu dalam kepercayaan leluhur masyarakat Bugis.
Secara umum peran dan tugas bissu melingkupi semua lini kehidupan manusia. Mulai dari sosial, ekonomi, budaya, dan spiritualitas yang terhubung dengan yang transenden, alam, dan manusia. Dengan kata lain, peranan bissu menjadi inti terwujudnya suatu kestabilan.