FAJAR, MAKASSAR — Kebutuhan listrik makin meningkat. Jika pembangkit listrik terus mengandalkan energi fosil, jangan harap udara selamanya bersih.
Makanya sejumlah negara termasuk Indonesia, telah menerima kesepakatan emisi karbon harus diturunkan hingga nol paling lama pada 2060 mendatang. Kesepakatan itu demi kehidupan yang berkelanjutan.
Sebab, colokan listrik di rumah tak sekadar digunakan menyalakan alat elektronik dan mengisi baterai ponsel. Kompor juga bakal butuh colokan. Kelak, kendaraan bermotor juga tak “minum” bahan bakar minyak (BBM) lagi, semua akan beralih ke listrik.
Ketergantungan energi fosil perlahan dikurangi. Namun rencana itu butuh biaya besar. Pemerintah tak mampu membiayai sepenuhnya, butuh peran swasta. Perbankan memiliki andil besar, sebab investasi tak bisa terwujud tanpa pembiayaan.
Founder Kalla Group Muhammad Jusuf Kalla juga mengakui peralihan energi fosil ke hijau butuh biaya besar. Itu dialami pria yang karib disapa JK itu ketika membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Poso, Sulawesi Tengah. Termasuk di Malea, Sulawesi Selatan.
JK mengakui investasi bangun PLTA besar di awal-awal investasi. Namun biaya operasionalnya murah. Berbeda dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), investasinya lebih murah namun biaya operasionalnya lebih mahal dari PLTA. “Namun manfaatnya ke depan sangat besar,” tutur JK.
Wakil Presiden RI ke-10 dan 12 itu mengaku terbantu pembiayaan perbankan. Menurut JK, perbankan saat ini sudah peduli terhadap perubahan iklim. Pembiayaannya untuk investasi hijau makin besar. Perbankan tak mau lagi terjadi kerusakan lingkungan.
“Awalnya pakai dana sendiri sampai 50 persen. Setelah itu pembiayaan mulai masuk, bank makin percaya,” ucap JK.
Proyek-proyek PLTA JK senilai Rp17 triliun. PLTA Poso dan PLTA Malea. Proyek yang diresmikan Presiden RI Joko Widodo di awal 2022 itu dibiayai tiga bank BUMN, Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Satu lagi bank swasta, Bank Panin. Pembiayaan sindikasi itu berkat kebijakan makroprudensial, Bank Indonesia (BI).
BI gencar mendorong pembiayaan berwawasan lingkungan.
Tentu muaranya pada ekonomi yang berkelanjutan. Para pekerja, tukang ojek, sopir angkot dan lainnya bisa berhemat menggunakan kendaraan listrik. Ibu-ibu di rumah juga bisa mengurangi beban biaya gas dengan beralih ke kompor induksi.
Kebijakan Bank Indonesia
Namun Bank Indonesia (BI) tak ingin listrik yang dikonsumsi kendaraan bermotor dan kompor induksi tersebut berasal dari pembangkit yang tak ramah lingkungan. Harus ada upaya besar-besaran agar pembangkit EBT terus diperbanyak. BI menjamin perbankan siap membiayainya.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, menyampaikan ekonomi hijau (green economy) menjadi fokus BI untuk mendorong perekonomian secara menyeluruh. Perry yakin, dukungan kebijakan makroprudensial yang ramah lingkungan dapat memperkuat ketahanan ekonomi dalam negeri.
Kebijakan BI tersebut tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan inklusif. Hal ini dapat menjadi sumber pertumbuhan baru, perluasan tenaga kerja dan mendukung Paris Agreement 2030 demi mengatasi dampak perubahan iklim.
“Pembiayaan hijau akan mendorong sumber pertumbuhan baru memperkuat ketahanan ekonomi kita,” tutur Perry.
Kebijakan makroprudential tersebut juga mendorong pertumbuhan investasi di Sulsel. Saat ini investor berlomba-lomba membangun pembangkit listrik EBT. Jika itu terus berlanjut, tentu akan memberikan efek ekonomi yang luar biasa. Serapan tenaga kerja akan meningkat dan UMKM di sekitar proyek secara tidak langsung juga ikut berkembang.
Makin Hemat
Erwin (38) juga sudah merasakan kehadiran kendaraan listrik. Operasionalnya murah, biaya listriknya berkisar Rp 1.352 sampai Rp1.699,53 per kWh. Pemakaian seminggu biayanya sekitar Rp15.000 hingga Rp20.000. “Kalau BBM, seminggu bisa sampai Rp150 ribu, saya sudah yakin ke motor listrik saja. Murah,” katanya.
Erwin bisa menghemat biaya hingga ratusan ribu rupiah per bulan. Tentu saja itu bisa disisihkan kebutuhan lain. “Hemat sekali, jadi biaya BBM sebelumnya bisa disisihkan ke kebutuhan lainnya, sangat membantu,” tuturnya.
Kini, Sulawesi Selatan menjadi lumbung energi bersih. Sebanyak 45,8 persen setrum yang dialirkan ke pelanggan, bersumber dari energi hijau. Hampir separuh setrum yang mengalir ke rumah pelanggan di Sulawesi Selatan, bersumber dari energi baru dan terbarukan (EBT).
Pencapaian itu jauh di atas target nasional sebesar 23 persen pada 2025. Ini pencapaian luar biasa demi mencapai target target net zero emissions ( NZE ) pada 2060.
Bahkan Institute for Essential Services Reform (IESR) menjagokan Sulawesi akan menjadi kandidat juara nasional sistem kelistrikan dari energi baru terbarukan. Di balik pencapaian positif itu, ada peran perbankan melalui pembiayaan hijau.
Energi Hijau
Pembangkit listrik yang menggunakan energi tenaga fosil seperti batu bara dan solar sudah saatnya ditinggalkan. Asap pembakaran batu bara mengotori udara. Jika udara terus dibiarkan kotor, akan membuat perubahan iklim secara besar-besaran.
Presiden Direktur KALLA, Solihin Kalla juga menaruh harapan besar pada green energy. Menurut putra sulung Jusuf Kalla ini, 17 tahun lalu, KALLA sudah menggenjot pembangunan pembangkit listrik tenaga air di Poso, Sulawesi Tengah, 2001 silam.
“Kami sekarang fokus di green energy, dari awalnya trading, berdagang. Ini masa depan ekonomi, ” ungkap Solihin.
Dia pun mengungkapkan bagaimana KALLA mengubah bisnisnya ke energi hijau sejak pertengahan 1990-an. Kalla Group menjadi partner KSO Telkom dengan membuat jaringan sambungan telepon. Namun itu tidak bertahan lama, telepon seluler keburu masuk, tanpa kabel dan berkembang.
Lalu di awal 2000 Kalla Group memutuskan shifting dan beralih ke pembangkit listrik tenaga air. Proyek ini diyakini sangat bertahan, tidak mengalami disrupsi. Sepanjang air masih mengalir, setrum akan terus mengalir ke rumah-rumah warga, industri, perkantoran, dan lainnya.
Selain itu, Indonesia punya banyak alam yang mendukung , dan teknologi PLTA ini sudah ada sejak seratus tahun lalu, dan kabel listrik tegangan tinggi pun tidak akan berubah dalam 100 tahun lagi. “Listrik tidak akan wireless,” ungkap dia.
Dukungan Kawasan Industri
Tersedianya listrik yang ramah lingkungan juga mendorong PT Kawasan Industri Makassar (KIMA) ikut menerapkan operasional yang ramah lingkungan.
Direktur PT KIMA Alexander Chandra Irawan mengatakan, pihaknya tidak hanya fokus memperbaiki pengelolaan limbah di kawasan industri, namun juga mendorong seluruh kegiatan produksi menerapkan prinsip ramah lingkungan. Jika listrik bersumber dari energi baru dan terbarukan (EBT), industri juga harus ikut mendukung.
Kawasan industri hijau merupakan bagian dari transformasi kawasan industri menuju kawasan smart, modern, dan green berbasis prinsip-prinsip ESG. Ia bertekad menjadikan KIMA sebagai green industrial zones untuk memperkuat daya saing dalam menangkap peluang investasi di Indonesia. “Industri hijau ada peluang besar yang harus kita jaga,” tuturnya.
Sumber EBT Sulawesi Selatan berasal dari PLTA Bakaru, PLTA Malea, dan PLTA Bili-bili yang menyumbang setrum bersih ke sistem kelistrikan Sulsel. Ekspansi energi terbarukan makin massif. Tak hanya dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) , PLN juga panen setrum dari kebun angin di PLTB Sidrap PLTB Jeneponto. Total daya yang dihasilkan dari kedua PLTB tersebut sebanyak 130 Mega Watt (MW).
Terbaru, ada pasokan setrum dari PLTS di Kabupaten Selayar. Termasuk PLTS di Pulau Kodingareng, Pulau Tanakeke, dan Pulau Lae-lae. Kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) disambut gembira oleh warga. Listrik menyala 24 jam.
Hasnawati (35) warga Pulau Kodingareng berharap investasi PLTS menyasar seluruh pulau agar masyarakat makin sejahtera. Kehadiran listrik ramah lingkungan sangat diharapkan, selain tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, juga murah.
“Sebelum ada PLTS, kita keluarga banyak biaya untuk beli solar untuk genset. Sekarang murah karena pakai cahaya matahari,” sebutnya. (muhammad takdir)