Sistem pendidikan kita saat ini bisa dibilang tidak cukup stabil. Para siswa dipaksa untuk menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ada disekolah. Padahal, mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam menerima dan mendapatkan ilmu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim percaya masa depan Indonesia bergantung pada kesuksesan sistem pendidikan. Urgensi itu pula yang membuatnya menerima posisi sebagai mendikbud periode ini. Generasi sepertinya dan para orang tua, saat ini sudah terbentuk. Potensi Indonesia untuk benar-benar bertransformasi itu ada pada generasi berikutnya. Mereka, para generasi muda, kini belum terbentuk dan terasah sehingga perlu dibantu pembentukannya.
Untuk fasilitas pendukung pendidikan, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya rusak, kepemilikan. Penggunaan media belajar rendah dan buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai, dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tanpa perpustakaan, dan tiada laboratorium.
Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugas sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian, dan melakukan pengabdian masyarakat.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi. Sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
“Regenerasi ini merupakan kesempatan emas kita untuk menciptakan generasi guru baru yang melek teknologi, mampu berinovasi, punya purpose dan passion yang benar sebagai guru. Tidak hanya sekadar pekerjaan saja,” ujar Nadiem.
Pendidikan Dini
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Sementara itu juga layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
Setiap siswa, sekolah, dan daerah memiliki tingkat kompetensi fundamental, literasi, dan numerasi yang berbeda. Sehingga, kurang masuk akal jika memaksakan suatu tingkat standar di setiap tahun pembelajaran dalam kurikulum. “Tidak mungkin kita menyamaratakan semua siswa dalam satu tingkat standar. Seharusnya guru bisa mencari materi yang pas dan sesuai tingkat kompetensi siswanya, sehingga siswa merasa tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah,” jelas Mendikbud.
Kemudian, para pemangku kepentingan harus memberikan fleksibilitas bagi guru menentukan tingkat pengajaran serta alat asesmen yang bisa mengukur siswanya dengan tepat.
Keberagaman minat dan kemampuan yang dimiliki siswa menjadi alasan paling kuat agar pengukuran kinerja siswa tidak boleh dinilai hanya menggunakan angka-angka pencapaian akademik, tetapi juga berbagai macam aktivitas lain atau ekstrakurikuler. “Bisa saja aktivitas di luar kelas yang mungkin menjadi minat siswa sehingga kita harus memberikan pengakuan dan sarana. Itu bisa menjadi bagian pendidikan mereka,” sambung Mendikbud.
Pengalaman Lapangan
Salah satu mahasiswa magang MBKM Mengajar Universitas Negeri Gorontalo (UNG) di salah satu sekolah di Gorontalo, Rizky Amalia Y. Lamaka menuturkan bahwa kualitas pendidikan di sekolah tersebut cukup baik. Namun, untuk prestasi siswa masih terbilang rendah karena beberapa faktor internal, maupun dari siswanya itu sendiri.
“Adanya pemanfaatan teknologi khususnya dalam kegiatan belajar seperti menggunakan media pembelajaran dapat membantu guru dalam mengajar dan juga siswa akan lebih mudah mendapatkan dan memahami materi,” katanya.
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Orang miskin tidak boleh sekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan. (*)
Riza Tharizzah Maldhani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Gorontalo (UNG) yang sedang magang FAJAR. Tulisan ini untuk memenuhi tugas membuat “OPINI”.