Oleh: Nuryusriati*
Feminisme adalah sebuah gerakan sadar untuk menentang segala bentuk dominasi laki-laki (patriarki). Gerakan ini dilakukan dengan tujuan untuk menyetarakan laki-laki dan perempuan.
Pada hakikatnya, kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, makhluk Tuhan yang diberikan akal dan potensi dalam diri. Jika melihat konteks kini, kita berada pada dimensi yang serba membingungkan. Juga mengerikan.
Setiap hari, kita diperhadapakan dengan berbagai berita yang tidak karuan. Terlebih untuk perempuan, berita tentang pelecahan dan kekerasan seksual makin berseliweran. Hal tersebut tentu membuat kita bergidik ngeri, takut, dan prihatin secara bersamaan.
Kekerasan perempuan berdasarkan catatan akhir tahun (catahu) 2023 terjadi peningkatan pengaduan kepada Komnas Perempuan terkait kekerasan berbasis gender. Dari 4.322 kasus pada 2021 menjadi 4.371 kasus pada 2022. Rinciannya, ada 2.098 kasus kekerasan di ranah personal, 1.276 kasus di ranah publik, dan 68 kasus di ranah negara.
Angka itu terbilang fantastis, membuktikan bahwa masih banyak ruang tidak aman untuk anak dan juga perempuan. Itu adalah segelintir data bagi korban yang telah melakukan pengaduan. Lalu bagaimana dengan yang memilih diam dan menyembunyikan kenyataan pahit itu sendirian? Faktanya di masyarakat kita masih banyak korban pelecehan dan kekerasan seksual yang memilih diam karena banyak factor.
Minimnya pengetahuan terkait pelecehan dan kekerasan seksual serta akses pelaporannya, minimnya perlindungan identitas terhadap korban, stigma negatif yang ada di masyarakat, dan korban yang dianggap bersalah, sebab apa yang melekat dalam dirinya serta hambatan psikologis seperti rasa malu, takut, serta merasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri.
Patriarki Langgeng
Di samping majunya gerakan feminis dan kesadaran perempuan akan harkat dan martabatnya, masih ada pula segelintir orang yang beranggapan berbeda. Sampai saat ini, budaya patriarki masih sangat langgeng di Indonesia. Patriarki adalah salah satu momok mengerikan bagi perempuan.
Patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama dalam kehidupan. Laki-laki menempati posisi utama dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Di Indonesia, budaya ini telah ada sejak lama. Bahkan sebelum manusia mengenal tulisan, sistem dan kelas sosial sudah ada.
Budaya ini telah mendarah daging dalam masyarakat kita dan menjadi salah satu akar penindasan terhadap perempuan, sebab adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Contoh kecilnya ketika dahulu perempuan dianggap tidak perlu berpendidikan tinggi, sebab pada ujungnya akan sampai ke dapur, sedangkan laki-laki dibebaskan pergi belajar dan melakukan apa pun yang ia mau.
Bahkan sampai saat ini masih banyak orang yang beranggapan demikian, laki-laki selalu mendapatkan tempat lebih dibanding perempuan. Ketika kita dihadapkan pada pemilihan ketua kelompok, ketua kelas, ketua tingkat, bahkan sampai di ketua umum yang pertama dicari adalah sosok laki-laki. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perempuan tidak layak dijadikan pemimpin, sebab apa yang melekat dalam dirinya.
Dalam masyarakat kita perempuan masih erat kaitannya dengan ranah domestik, ia akan dianggap aneh dan mendapatkan cemooh ketika tidak tahu memasak, mencuci, dan rentetan pekerjaan rumah lainnya.
Meskipun beberapa perempuan sudah ada yang menempati ranah publik dan politik, beban domestik tidak semudah itu dilepaskan. Ini menimbulkan masalah baru, yaitu beban ganda bagi perempuan. Sementara laki-laki akan dianggap biasa saja ketika ia tidak tahu memasak, mencuci, dan lainnya. Justru merekalah yang akan dilayani oleh perempuan, mulai dari laki-laki itu kecil, remaja, dewasa, hingga tua.
Sistem ini selalu menempatkan perempuan sebagai sosok inferior, sementara laki-laki adalah superior. Situasi ini mengakibatkan ketidakadilan gender yang bermuara pada kekerasan terhadap perempuan, baik itu kekerasan fisik, emosional, psikologis, seksual, ekonomi, verbal, intimidasi, dan ancaman. Contoh kasusnya adalah pelecehan seksual, pernikahan anak usia dini, kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya.
Rekonstruksi Paradigma
Akar dari penindasan ini memang sangat sulit dilepaskan, sama halnya dengan RA Kartini pada masa lampau yang berhasil memperjuangkan emansipasi perempuan. Pada masa kini, harus ada sosok yang sama. Yang pertama harus dibenahi adalah paradigma terkait perempuan yang telah mengakar di masyarakat.
Robert Friedrichs, pakar sosiologi Amerika, mengemukakan bahwa paradigma merupakan sekumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai sebuah titik tolak pandangannya. Itu lalu membentuk suatu citra subjektif seseorang terhadap realitas, sehingga ia bisa menentukan cara menangani realitas itu.
Paradigma masyarakat terhadap perempuan seperti yang disebutkan di atas lahir sebab konstruksi sosial yang ada di masyarakat. Itu tidak akan berubah ketika masyarakat tidak mengubah cara pandangannya terhadap perempuan. Perempuan akan terus dianggap makhluk kelas dua, berada di bawah laki-laki, inferior dan sebagainya, sebaliknya laki-laki akan terus merasa unggul, hebat dan bisa diandalkan.
Hal tersebut bukan hanya merugikan perempuan, namun juga laki-laki. Laki-laki dituntut untuk selalu terlihat kuat dan harus selalu menonjolkan sisi maskulinnya. Padahal setiap manusia memiliki sisi maskulin dan feminimnya masing-masing dengan porsi yang berbeda-beda.
Untuk itu perlu dilakukan rekonstruksi paradigma, bukan hanya untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan. Perlu ada yang diubah dalam cara pandang masyarakat, laki-laki maupun perempuan. Keduanya punya potensi yang sama, potensi untuk melakukan hal baik dan sebaliknya.
Kita harus bisa melihat perempuan dengan segala faktor biologis yang melekat pada dirinya sebagai pemberian Tuhan, bukan sebagai aib maupun objek yang bisa menjadi bahan celaan. Ketika perempuan mengalami pelecehan atau kekerasan, yang harus dipertanyakan adalah pikiran dari pelakunya, bukan apa yang ada pada korban. Terbuka atau tertutupnya pakaian perempuan, tidak menjamin ia aman selama laki-laki masih berpikiran primitif dengan menganggap dirinya yang lebih dominan.
Kesetaraan
Perempuan dan laki-laki harusnya bisa bekerja sama dan juga masing-masing bisa mengambil peran sesuai dengan apa yang mereka sukai dan inginkan, bukan yang masyarakat inginkan. Memberi ruang kesetaraan gender berarti tidak hanya memberi ruang kepada perempuan, namun kepada seluruh manusia.
Kesetaraan merupakan kondisi akses terhadap hak atau pun peluang tidak dibatasi oleh gender. Kata kunci ini yang terus diperjuangkan oleh aktivis penggerak feminisme, bukan hanya untuk kelompok mereka, namun untuk sesama manusia.
Hingga kini perjuangan kesetaraan gender masih terus digaungkan, sebab masih banyak orang yang berpandangan patriarki. Untuk itu, bagi yang sudah sadar, selanjutnya adalah bah-membahu menyadarkan. Dunia ini luas, meski raga kita terbatas berkelana jangan biarkan pikiran kita ikut terpenjara. Membaca, berdiskusi, dan berinteraksi bisa membuat kita mendapatkan paradigma baru, untuk itu jangan berdiam diri.
Setidaknya ketika kita bersinggungan dengan perbedaan, masing-masing telah sampai pada tahap menerima. Bahwa perbedaan itu wajar terjadi karena kita hidup berasal dari lingkungan yang berbeda. Kepala kita berbeda, jadi tidak usah menuntut sama dan tidak usah marah ketika berbeda, setidaknya kita saling menghargai dan mengasihi sebagai sesama manusia. Jangan sampai kita menjadi manusia yang abai pada sekitar dan menuhankan ego.
Teruntuk sesama perempuan, ke depannya kita bisa menciptakan hal-hal menakjubkan. Membuat perubahan, menciptakan peradaban, dan menjadi sebaik-baiknya manusia yang bermanfaat. Namun, hal tersebut akan sulit dicapai jika kita bergerak sendiri, terlebih jika harus menembus lorong-lorong sunyi.
Sesuatu akan terasa ringan bila kita lakukan bersama-sama. Untuk itu sebagai sesama perempuan, mari kita bergerak, berdaya secara bersama-sama. Kecil atau besarnya hasil yang kita peroleh, bukanlah persoalan. Yang menjadi soal adalah ketika kita masih terpenjara oleh ego dan melukai sesame.
Hidup manusia lainnya sama berartinya dengan hidup diri kita sendiri, mari bersinergi menciptakan atmosfer baru yang lebih humanis. (*)
Nuryusriati adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Makassar (UNM) yang sedang magang di FAJAR. Tulisan ini merupakan tugas membuat OPINI.