OLEH: Nasrullah, Pembelajar Budaya Politik Asia Tenggara. Saat ini Tinggal di Kuala Lumpur
Ada yang menarik di belantika politik nasional. Nama dua alumni UGM sezaman kian mencuat. Keduanya adalah Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Anies adalah ketua Senat Mahasiswa UGM pada masanya dari Fakultas Ekonomi, aktif di HMI. Sementara itu, Ganjar adalah ketua Mapala UGM juga semasa dengan Anies dari Fakultas Hukum, aktif di GMNI. Keduanya adalah pegiat organisasi pada masa Mahasiswa, dan juga pejabat publik pada masa kini. Setidaknya lima tahun terakhir.
Di tingkat Daerah, Ganjar adalah gubernur Jawa Tengah dua periode. Sementara itu, Anies adalah Gubernur Jakarta satu periode. Sebelumnya, Anies lebih dikenal sebagai Rektor Paramadina. Di level nasional kiprah Ganjar dan Anies bukan pula kaleng – kaleng. Ganjar pernah berkarir di DPR RI sementara Anies pernah menjadi Menteri di era periode pertama Jokowi. Keduanya, pada tingkat lokal dan nasional, sudah berpengalaman. Setidaknya, sudah merasakan berada dan dekat dengan “istana” dan “senayan”.
Dari keduanya, yang berbeda adalah ketika keluar dari kampus. Ganjar berkarir di partai lalu menjadi politisi, anggota parlemen, kemudian menjadi Gubernur. Sementara, Anies sekolah tinggi – tinggi lalu menjadi Akademisi, kemudian menteri, terakhir menjadi gubernur. Boleh di kata, keduanya, baik Anies maupun Ganjar meniti jenjang karir masing – masing di jalannya. Boleh dikata pula, sama – sama bersinar di jalan pilihan masing – masing.
Menanti Usungan
Kini, keduanya, Ganjar dan Anies masing – masing oleh pendukungnya dijagokan akan menjadi calon presiden. Sayangnya, keduanya belum mendapatkan dukungan resmi dari partai. Tentu, memang belum waktunya masa pencalonan itu. Namun, setidaknya dukungan metakinkan yang cukup dari partai pengusung belumlah pasti. Ganjar belum dinyatakan didukung oleh PDIP dan Koalisi KIB (berisi Golkar, PAN, PPP). Begitu juga Anies, belum final juga diusung oleh Koalisi Perubahan (terdiri dari partai Nasdem, PKS, dan Demokrat).
Sedikit lebih maju, Anies sudah dinyatakan didukung, tinggal menunggu penentuan wakil yang berpotensi membuat koalisi itu final atau malah bubar jalan. Sementara itu, Ganjar sampai saat ini, masih wait and see, maju tidak, mundur pun belum. Semua masih bergantung, Megawati, Ketua Umum partainya, PDI Perjuangan. Sayangnya memang, Ganjar dan Anies bukanlah ketua partai. Sehingga, keduanya seperti anak manis yang menunggu kebaikan hati dan permintaan syarat yang harus dipatuhi oleh orang tua masing – masing. Belum bisa bergerak sendiri. Menunggu “perintah” dari “atas”.
Anies dan Ganjar terus dibuat menanti. Apakah para politisi senior “pemilik” partai pada akhirnya akan mengusungnya? Jika, iya, hendak dipasangkan dengan siapa? Apakah sesuai dengan keinginannya atau malah jadi “kawin paksa”. Keduanya seperti calon mempelai yang belum pasti mendapat restu orang tua, sekaligus belum pasti berpasangan dengan siapa. Kasian sekali sebetulnya. Penantiannya menjadi dua kali, jadikah naik pelaminan? Jika ya, dengan siapa kelak? Syukur – syukur yang dinanti, bukan pesanan oligarki.
Politik saling tunggu dan saling intip
Pemilihan presiden 2024, jikapun benar – benar jadi dihelat, sepertinya akan “last minute” lagi. Nasdem mencoba menghindari itu dengan “buru-buru” mendeklarasikan Anies Baswedan. Namun, tiket belum cukup dan mesti mengajak yang lain untuk berkoalisi. Setelah itu, lahirlah yang disebut dengan “safari politik”. Drama demi drama dipertontonkan ke rakyat banyak. Seolah, tontonan – tontonan media ini adalah sesuatu hal yang dapat menghibur rakyat banyak dari kesusahan hidup yang dialaminya pasca-pandemi ini. Suka tidak suka, itulah kenyataannya.
Merespons sikap Nasdem, partai – partai lain tak ketinggalan. Gerindra-PKB mengusung koalisi juga. Lalu, deklarasi. Tiketnya cukup, tinggal menentukan wakil saja. Apakah Cak Imin akan mendampingi Prabowo? Nanti kita liat. Yang pasti, koalisi ini jika bertahan, sudah cukup untuk mengusung pasangan calon. Koalisi lain pun terbentuk juga, Golkar-PAN-PPP menyatu tanpa Capres tanpa cawapres. Konon Airlangga sebagai ketum Golkar disebut – sebut sebagai capresnya. Namun, konon koalisi ini adalah persiapan untuk pasangan Ganjar-Erick kalau – kalau PDIP tak kunjung mengusung Ganjar di penghujung nanti.
Semua masih serba tak pasti. Saling intip, saling tunggu siapa melangkah duluan. Anies dan Ganjar pun belum bisa leluasa menari – nari, maklum panggunnya pun memang belum ada. Hanya Prabowo yang bisa leluasa dan lebih pasti bicara capres. Asal cak Imin tidak neko – neko di belakang hari, dipastikan Prabowo nyapres lagi untuk ketiga kalinya. Entah berpasangan dengan siapa lagi.
Andai saja Ganjar dan Anies maju
Di perbincangan para “pengompol”, sebutan dari pengomong politik, Anies dan Ganjar seolah diperhadap – hadapkan. Keduanya tentu tidak ada masalah secara pribadi, hanya saja, suporternya ini yang seperti menyalurkan polarisasi kepada keduanya. Sebut saja polarisasi “islamis” dan “nasionalis”, jika tak ingin membelah dengan sebutan yang lebih “memalukan” — cebong – kampret.
Anies dicitra sebagai bagian dari kelompok Islamis. Yah, dia memang berlatar HMI di masa mudanya. Sementara itu, Ganjar dicitra Nasionalis. Maklum, GMNI adalah organisasi tempat berprosesnya di masa Mahasiswa dahulu. Namun, “memaksakan” label keduanya demikian memang seperti pekerjaan orang malas mikir saja. Meskipun memamg, lebih dan kurangnya punya batas kebenaran masing – masing. Tapi, melabeli untuk membelah pemilih, tentu tak elok bagi kedewasaan bangsa.
Suka atau tidak, residu pilkada Jakarta memang belum selamanya hilang. Orang – orang “sakit hati” yang kalah dan orang – orang “euforia” yang menang di pilkada Jakarta lalu, yang menghadap – hadapkan Anies dan Ahok, lalu berlanjut di pilpres 2019 antara Jokowi dan Prabowo, seperti ingin kembali menyalurkan “dendam politik” mereka di pilpres 2024 nanti. Pendukung Ahok akan ke Ganjar, sementara pendukung Anies tetap ke Anies. Begitu kira – kira pola dukungan yang akan terbangun. Meski, di lapangan, tentu praktik – praktik politik praktisnya bisa jadi lebih cair malah.
Terakhir, jika saja itu terjadi, para “suporter politik” Anies akan berhadapan dengan eks- “suporter politik” Ahok yang bermigrasi ke Ganjar, akankah terjadi pembelahan lagi? Kita berharap tidak demikian, demi kedewasaan “politik yang berkebudayaan”. Namun, jika terpaksa atau dipaksa lagi terjadi demikian, akankah Ganjar akan menjadi korban kedua Anies? Atau malah sebaliknya?
Kita nantikan. (*)