LAPORAN: Prof M Qasim Mathar
Seoul
Jika dalam perjalanan, Nabi Muhammad saw biasa salat dalam posisi duduk di atas untanya. Umatnya kini tidak berkendara unta.
Generasi kini naik mobil, bus, kereta api, kereta listrik, kapal laut, dan pesawat udara. Ada kendaraan roket ke luar angkasa, tapi belum umat Muslim.
Waktu sekolah dulu, sudah diajarkan fikih ibadah. Dalam fikih ibadah diajarkan cara salat, puasa, dan lain-lain, kalau sedang dalam perjalanan, misalnya turisme. Dalam turisme, salat dijamak – mengerjakan dua salat wajib (Magrib-Isya dan Zuhur-Asar) pada satu waktu saja.
Juga salat diqasar (salat yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat). Atau, salat dijamak dan diqasar. Salat dalam posisi berdiri, duduk, berbaring, duduk dalam kendaraan, duduk dalam posisi bebas atau tidak, misalnya memakai sabuk pengaman/seatbelt, ada dalam fikih.
Berwudu dengan air dan bukan-air (tayamum) dan berbagai macam cara agar ibadah tetap bisa ditunaikan dijelaskan di dalam fikih. Fikih berdasar dan berdalil pada Al-Qur’an dan terutama hadis.
Detail ibadah memang lebih banyak dirujuk pada praktik Nabi Muhammad saw yang terbaca pada hadis. Sumber dan jalur hadis yang berbeda, ditambah redaksi yang berbeda pada hadis-hadis yang berbicara tentang tema yang sama, menjadikan ulama juga berbeda pendapat.
Oleh karena itu, dapat dimaklumi kalau dalam fikih terdapat 1001 pendapat dan mazhab. Bagi saya, kekayaan dan aneka ragam pendapat dan mazhab dalam fikih, bukanlah masalah. Justru menguntungkan dan memudahkan agama.
Khususnya ibadah, dilaksanakan pada suasana turisme (perpelancongan, perpariwisataan, pertamasyaan). Dengan 1001 model salat, 1001 model berwudu, dan 1001 model ber-Islam dalam fikih, turisme bisa dinikmati dalam ruang dan waktu apa pun.
Selama dalam turisme, salat dijamak-qasar, berwuduk dengan bukan air atau tayamum. Bertayamum di sandaran kursi penumpang di depan kita atau di bagian lain yang cukup bersih dari kendaraan yang kita tumpangi, itu pun boleh.
Lalu, salat pun ditunaikan dalam posisi duduk di kursi, tanpa berdiri dan dalam kondisi memakai tali pengaman (seatbelt). Kiblat salat sangat mungkin tidak ke arah kiblat, melainkan menurut arah hadapan kendaraan yang ditumpangi.
Bertamasya ke Korea Selatan di pertengahan Februari, dalam musim dingin yang masih bersalju, toilet menjadi tempat yang sering dibutuhkan. Faktanya, hanya ada tisu di toilet. Fikih mengingatkan tentang istinja. Yaitu, “membersihkan najis yang keluar dari dubur dan kubul atau kemaluan dengan air, atau dengan benda bukan-air, yang bersih”.
Dahulu, istinja boleh dengan batu atau benda yang lebih lembut dari itu. Pada zaman sekarang, tisu kering atau basah atau sejenis itu merupakan pilihan beristinja. Kini ada popok celana untuk orang dewasa, yang boleh menampung kencing dan permukaannya tetap kering.
Bolehkah salat dilakukan oleh muslim yang popoknya sudah menyerap kencingnya? Boleh, jika tidak ada tempat untuk mengganti popok dan tidak ada waktu untuk menunda salat dilakukan nanti di hotel. Fikih memandu kita dalam turisme.
Di Masjid Allahu Akbar di Seoul Central Mosque, Korea Selatan, karena tersedia air, saya berwudu dengan air, tetapi tanpa membuka sepatu musim dingin. Saya cukup mengusapkan air di bagian atas sepatu saya.
Dalam fikih itu disebut mengusap khuf. Walau banyak air, saat suhu amat dingin, bertayamum boleh. Turisme di negeri hidangan halal tidak populer dimudahkan oleh fikih yang bermazhab lunak. Ada juga fikih keras.
Misalnya, fikih yang mungkin bertanya: apakah sendok garpu, sumpit, piring, cangkir, dan peralatan dapur di restoran tempat makan itu tidak bersentuhan dengan sesuatu yang haram, walau pemandu turisme memastikan hidangan yang disajikan halal?
Memang secara garis besar fikih ada dua: yang lunak dan yang keras. Keduanya berdalil dari Al-Qur’an dan hadis. Fikih turisme adalah jenis fikih yang lunak.
Karena keduanya, yang lunak dan keras berdalil dari Al-Qur’an dan hadis, maka nikmatilah turisme dengan fikih lunak, dengan tetap menghormati fikih keras. Insyaallah, umat pengikut kedua fikih itu bertemu juga di surga! (*)