English English Indonesian Indonesian
oleh

Membendung Kartel-Oligarki

Oleh: Muhammad Syarkawi Rauf, Dosen FEB Unhas/ Ketua KPPU RI 2015-2018

Kartel adalah kesepakatan antarpelaku usaha untuk menetapkan harga (price fixing), mengendalikan produksi atau mengatur pemasaran (output restriction), mengatur wilayah pemasaran (market allocation), dan tender pengadaan barang/jasa yang diatur (collusive tender).

Permainan ini masuk pelanggaran hukum persaingan yang dampaknya sangat buruk terhadap perekonomian. Tidak berlebihan jika pelanggaran hukum persaingan dalam bentuk kartel disamakan dengan pelanggaran kriminal di beberapa negara. Sanksi terhadap pelanggaran hukum kartel tidak hanya denda (sanksi administratif), tetapi juga dapat dikenai sanksi pidana.

Pelanggaran hukum kartel tumbuh subur dalam perekonomian yang terkonstentrasi tinggi disertai institusi ekonomi bersifat ekstraktif yang hanya menguntungkan oligopilis. Institusi ekonomi meliputi peraturan, kebijakan, kelembagaan, norma dan lainnya tidak memberikan insentif bagi masyarakatnya untuk berinvestasi dan berinovasi. 

Hal ini sejalan dengan dua ekonom Amerika Serikat (AS), Daron Acemoglu dari MIT dan James A. Robinson dari Universitas Harvard yang menulis buku berjudul “Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty”. Keterbelakangan di beberapa negara bukan karena faktor geografi atau budaya, tetapi karena pemimpinnya gagal membuat kebijakan yang tepat dan institusi ekonominya bersifat ekstraktif.

Kartel dan Oligarki

Pengalaman Emerging Market Economies (EMEs), termasuk Indonesia menunjukkan pelanggaran hukum kartel tidak hanya terjadi secara horizontal, yaitu persokongkolan antaroligopolis, tetapi kesepakatan tersebut dalam banyak kasus difasilitasi oleh penyelenggara negara. Persokongkolan terjadi secara vertikal melibatkan aparatur negara. 

Praktik kartel yang difasilitasi oleh penyelenggara negara melalui kebijkan pemerintah populer dengan istilah public cartel. Motif dari public cartel adalah memperoleh keuntungan yang tidak normal oleh pelaku usaha dan gratifikasi kepada penyelenggara negara.

Hal ini yang menyebabkan oligopolis, yaitu segelintir pelaku usaha bersekongkol dengan  penguasa mengatur kebijakan-kebijakan ekonomi. Fenomena seperti ini yang saat ini popular dengan istilah oligarki.

Fenomena oligarki terjadi di negara baik dengan sistem demokrasi maupun otoriter. Sebagai contoh, Amerika Serikat (AS) yang dipimpin secara bergantian oleh presiden dari Partai Republik dan Partai Demokrat dengan kebijakan dalam berbagai hal hampir sama. Hal ini disebabkan oleh adanya deep state yang mengendalikan negeri itu.

Praktik kartel merupakan permasalahan global yang dialami oleh hampir semua negara. Hal ini yang mendorong forum persaingan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) 10 tahun lalu di Paris, Perancis, melaksanakan forum global mengenai strategi memerangi kartel dan mengeliminir dampaknya terhadap kemiskinan di EMEs.

Sebagai contoh, praktik kartel di beberapa komoditas pangan strategis menyebabkan harga menjadi tidak stabil (fluktuatif) dan naik secara persisten. Tidak heran jika komoditas pangan berkontribusi terhadap persistensi inflasi. Hal ini yang menyebabkan jutaan orang yang pendapatannya berada di sekitar garis kemiskinan menjadi miskin dan penduduk yang sebelumnya miskin menjadi semakin miskin (the depth of poverty). 

Membendung Kartel

Secara hukum, kartel sesuai dengan UU Persaingan Usaha (UU No 5/1999) adalah perjanjian yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha dengan maksud mengendalikan harga dengan cara mengatur produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Praktik kartel dapat terjadi melalui dua cara, yaitu: (1) Kartel terbentuk karena secara langsung maupun tidak langsung difasilitasi oleh kebijakan pemerintah (public cartel). (2) Terbentuknya kartel didorong oleh motivasi pelaku usaha memonopoli produksi dan penjualan barang atau jasa tertentu dalam rangka memperoleh keuntungan tidak normal melalui penetapan harga tinggi.  

Sebagai contoh, kartel yang terjadi dalam sistem kuota impor komoditas pangan. Pemberian kuota impor seperti dalam kasus-kasus yang ditangani KPPU terkonsentrasi pada pelaku usaha tertentu karena adanya kepemilikan silang (cross ownership). Pola seperti ini juga lumrah terjadi dalam kasus tender yang telah diputus bersalah oleh KPPU dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Lalu apa solusinya? Forum global OECD tentang persaingan usaha menyimpulkan bahwa membendung kartel termasuk oligarki (public cartel) harus dimulai dari hulunya, yaitu kebijakan pemerintah. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah regulatory review terhadap sejumlah kebijakan yang berpotensi memfasilitasi terjadinya kartel (cartel by law). Tujuannya adalah agar kebijakan dan peraturan kementerian, gubernur, bupati serta wali kota sejalan dengan UU Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Penegakan hukum adalah cara terakhir. Paradigmanya, perlu meniru slogal pembangunan kesehatan nasional, yaitu mencegah orang sehat menjadi sakit lebih baik dibanding mengobati tanpa melupakan mereka yang sedang sakit.

Jika penegakan hukum terpaksa harus dilakukan, maka KPPU perlu diberikan kewenangan untuk menggeledah dan menyadap mengingat pembuktian persekongkolan kartel makin sulit. Persekongkolan tidak lagi dilakukan secara konvensional dengan membuat perjanjian tertulis seperti pada masa lalu. Kini, persekongkolan menggunakan platform digital.

Pengalaman internasional menunjukkan bahwa kartel termasuk extraordinary crime yang dampak negatifnya jauh lebih buruk dibandingkan kejahatan korupsi. Sehingga membendung kartel dan oligarki dalam hal ini public cartel tidak bisa dilimpahkan hanya kepada KPPU saja, tetapi membutuhkan konsensus nasional yang melibatkan pemerintah dan pelaku usaha. (*)

News Feed