OLEH: Muhammad Asdar, Akademisi Universitas Fajar Makassar
Era digital telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat termasuk dalam manajemen media. Baik media mainstream (TV, radio, surat kabar) terlebih media sosial (facebook, instagram, twitter, youtube). Namun, kehadiran media sosial menjelma dan menggerus pekerjaan para pewarta. Ironisnya, masyarakat lebih memilih informasi yang cepat dibanding menunggu hasil verifikasi media arus utama (mainstream).
Mengapa demikian? Hal ini tidak terlepas dari tingkat kebutuhan masyarakat atas informasi yang cepat. Dahulu kita mengenal istilah siapa yang menguasai informasi maka dia mampu menguasai dunia. Sekarang terbalik siapa yang cepat menyampaikan dan menyebarkan informasi maka Ia menjadi tren, dipuji, dan diagungkan. Akhirnya, gejala FOMO dan kecemasan orang mengikuti fenomena ini semakin masif. Istilah Fissing Off Missing Out (FOMO) sendiri dipopulerkan Andrew K Przybylski (2013).
Bagaimana media menyikapi hal ini? Tentu tidak semata pendekatan aspek teknologi informasi digital melalui update keterampilan dan kompetensi wartawan, namun pendekatan psikologis, sosiologis serta humanisme dibutuhkan untuk meredam kecemasan masyarakat terhadap media sosial.
Momentum HPN 2023 tidak hanya berfokus kepada algoritma semata namun kualitas pers dan seluruh indikator pendukungnya memerlukan penyatuan persepsi. Tujuannya satu yakni menekan angka 691 kasus pengaduan pers tentang berita hoaks (bohong), fitnah, dan mengandung provokasi seksual (Dewan Pers 2022).
Meski akurasi fakta adalah problem utama media sosial namun menjadi kanal alternatif sebagian orang, sebagiannya lagi menganggap media arus utama menjadi pilihan yang diandalkan di tengah kredibilitas media sosial telah dirusak oleh berita hoaks dan lainnya.
Di tengah pro-kontra dan konvergensi persaingan media sosial dan media mainstream justru muncul media alternatif yang sedikit lambat dan kecil, namun mencerahkan segmentasi pembaca serta menyuarakan kelompok feriperi (terpinggirkan dan miskin).
Alhasil, semua pejabat, tokoh hingga presiden Jokowi ramai-ramai mendukung jurnalisme yang sehat dan berkualitas. Namun, berbanding terbalik dengan kondisi dunia pers yang sedang tidak baik-baik saja.
Setidaknya itu yang diramalkan Bill Kovach dan Tim Rosenstiel dalam bukunya ‘blur’ (2011). Dimana ada sekelompok orang yang justru makin percaya dan yakin media sosial merupakan alternatif ketika semua media dianggap telah di ‘dibeli’.
Itulah sebabnya pemerintah mengintervensi media sosial beberapa tahun lalu (Pemilu 2019). Karena menimbulkan dampak kerusuhan pasca pengumuman hasil akhir oleh KPU. Akankah pemerintah lebih panik lagi pasca pemilu 2024? Kita lihat saja nanti. Kongkretnya, mari menatap masa depan media Indonesia dengan tidak tersandera oleh kepentingan Asing dan Aseng. Selamat Hari Pers Nasional. (*)