Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap — meski jauh dari urusan politik — sepertinya tidak kalah hiruk-pikuk pembahasannya. Semua terkait karena ketidakjelasan regulasi yang mengaturnya. Pada awalnya, pemerintah cukup gencar mendorong pemasangan PLTS-atap sebagai bentuk dan upaya menggalakkan penggunaan energi baru dan terbarukan. Namun belakangan PLN sebagai pengelola listrik negara sudah merasa ‘tergerus’ pendapatannya dengan maraknya keinginan menggunakan PLTS-atap ini. Fenomena ini terlihat ketika konsumen PLN yang menggunakan PLTS-atap dengan sistem off-grid — bisa ‘menjual’ kelebihan pasokan listriknya ke PLN. Rumah pribadi pemakai PLTS-atap — merasakan sistem ‘on-grid’ yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS atap on-grid atau dalam jaringan sistem kelistrikan — merasakan adanya penghematan pembayaran listrik yang cukup signifikan.
Meskipun mereka sesungguhnya sudah mengeluarkan uang banyak untuk pembelian peralatan panel surya dan segala kelengkapannya. Dengan harapan dalam hitungan jangka panjang — dana investasi mereka akan kembali dan selanjutnya akan menikmati listrik dengan pembayaran yang murah. Sesuai janji para ‘penjual’ PLTS-atap bahwa peralatan bisa awet 20 – 30 tahunan. Dan mengecewakannya, di tahun ke-2 atau ke-3 mereka menggunakan, bahkan ada yang baru memasang beberapa bulan dan masih jauh dari pelunasan cicilan, tiba-tiba pemerintah dalam hal ini — Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konversi Energi mengumumkan hendak menghapus skema ekspor listrik dari pembangkit panel surya ke sistem jaringan PT Perusahaan Listrik Negara. Kebijakan ini tentu saja sama dengan keinginan mempertahankan ‘monopoli’ PLN.
***
Dalam skema sebelumnya, setiap kelebihan listrik dari PLTS-atap yang “diekspor” ke jaringan PLN dapat dihitung sebagai komponen pengurang tagihan atas biaya pemakaian listrik serta jaringan milik perusahaan setrum negara. Skema tersebut sejatinya menjadi insentif bagi pelanggan untuk beralih dari energi fosil ke energi hijau. Tujuannya adalah jumlah pengguna PLTS on-grid kelas industri dan rumah tangga terus bertumbuh. Entah karena merasa ‘terancam’ dengan pendapatannya, keluhan atas sulitnya mendapatkan izin dan fasilitas pemasangan PLTS-atap dengan jaringan ke PLN, mulai dirasakan calon pemakai. Pengusaha PLTS-atap juga mengeluhkan hal ini— terutama karena calon pembeli mereka mulai mengeluh atas lamanya proses penyambungan. Dan tiba-tiba saja skema tsb bahkan akan dihapuskan.
Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konversi Energi – Dadan Kusdiana mengatakan regulasi PLTS atap akan disusun secara adil. Dia juga meminta pengguna PLTS atap kembali ke tujuan semula, yaitu menggunakan sumber energi itu untuk memenuhi kebutuhan sendiri. “Bukan menjual listrik ke PLN.” Dengan prinsip ini, menurut Dadan pengguna PLTS atap akan menghitung ulang kebutuhannya sebelum memasang panel surya. Adapun perihal kuota, Dadan memastikan penerapannya dilakukan bersamaan dengan penghapusan pembatasan kapasitas PLTS atap.
***
Pernyataan pemerintah bahwa pemakaian PLTS-atap akan mencapai angka 3.600 megawatt di tahun 2025 sepertinya akan sulit tercapai dengan skema baru nanti. Masalahnya hingga akhir tahun lalu total kapasitas pemakaian PLTS-atap baru mencapai angka tak lebih dari 300 megawatt. Pemerintah memang menghadapi masalah dilematis, karena mereka juga melindungi kepentingan pemasok listrik swasta — yang sebagian besar memakai energi fosil — yang juga tentu sudah mengeluarkan investasi yang tidak kecil. Sudah seharusnya dipikirkan jalan keluar yang lebih bijaksana dan tidak merugikan siapapun. Apapun penilaian kebijakan di bidang PLTS-atap harusnya tidak membingungkan para pemakai awam. Mereka juga harus dilindungi, karena meskipun investasinya tidak terlalu besar di mata pemerintah, tetapi jumlah yang mereka bayarkan atau cicilkan — dengan niatan membayar uang bulanan listrik lebih murah — mungkin sudah menggerus tabungan mereka.**