Terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Makassar, Muhyiddin mengungkapkan, seharusnya paguyuban itu tidak ada. Meskipun itu berada di bawah ranah Kemenag, tetapi pihaknya telah membubarkan paguyuban di institusi pendidikan di Makasar.
“Sebab tidak ada dasar hukum yang mengatur. Kalau komite kan jelas dalam membantu pengembangan sekolah. Tidak boleh ada pungutan. Kalau pun sifatnya penting, harus ditransparansikan,” tegasnya.
Anggota Komisi D DPRD Makassar, Yeni Rahman membeberkan, persoalan tersebut tetap harus diatensi. Meskipun di luar dari tupoksi Pemkot, karena dibawahi Kemenag, tetapi anak-anak yang bersekolah di sana adalah warga Makassar.
“Bagus kalau ada hubungan timbal balik. Tetapi ini ke arah sumbang menyumbang. Biasanya kalau musyawarah penentuan nilai, yang tidak mampu itu terpinggirkan. Tidak mau bicara karena tidak enak,” cetusnya.
Yeni yang juga merupakan mantan guru dan memiliki anak yang bersekolah, membenarkan paguyuban itu memberatkan. Persoalan baju porseni dan loker di sekolah tersebut, menurutnya sangat berlebihan.
“Meskipun kami tidak bisa berbuat apa-apa karena bukan kewenangan kami, tetapi mereka warga Makassar. Itu sangat disayangkan, sebaiknya segera melaporkan ke Kemenag,” sarannya. (uca)