Tindakan pimpinan Universitas Hasanuddin, dalam hal ini Rektor, yang meminta maaf atas kejadian ini patut diapresiasi. Meski, ramai juga yang menyayangkan hingga mengklarifikasi secara tak langsung di media. Sepertinya, mereka ini tak paham bahwa permintaan maaf Rektor tersebut tidaklah serta merta harus dimaknai membenarkan pilihan sang Mahasiswa. Melainkan, meminta maaf atas tindakan tak pantas bawahannya. Peristiwa ini tak mesti dibaca sebagai hal yang benar atau salah, tapi pantas dan tak pantas dilakukan di ruang publik bernama Universitas.
Sebagai seorang ilmuwan yang banyak makan asam garam dari Universitas top Dunia, Prof. Jamaluddin Jompa tentu mahfum atas kepantasan dan ketakpantasan berperilaku sebagai sivitas akademika di Universitas. Termasuk dalam menghargai dan menghormati keberagaman. Kemampuan membaca seperti ini dan kesigapan mengambil sikap adalah ciri kapasitas literasi sang Rektor yang berbeda jauh dari bawahannya yang melakukan “blunder intelektual” di atas.
Berbeda bukan berarti boleh seenaknya “dieksklusi” (baca: diusir dan atau diamankan) hanya karena yang menghadapinya adalah pejabat yang punya kuasa. Pemaknaan demikian sepertinya yang ingin disampaikan di balik permintaan maaf sang Rektor.
Rektor seperti ingin mengirim sinyal bahwa Unhas bukanlah institusi yang membenarkan tindakan “persekusi” verbal demikian. Sekaligus, peristiwa ini, dapat dibaca sebagai ujian awal kepemimpinannya. Deretan pekerjaan rumah menunggu untuk dibenahi, termasuk dan terutama sekali adalah membereskan kecerdasan literasi pejabat – pejabatnya dan membangun kultur akademik yang sehat. Semoga momentum ini dapat menjadi batu pijakan bagi Unhas untuk terus berbenah.