OLEH: Nurhayati Rahman, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Unhas
Sebenarnya saya malas berkomentar tentang tragedi kemanusiaan yang menimpa Indonesia, sebagai kado terburuk dalam menyambut kemerdekaan Indonesia yang ke-77. Tapi karena banyaknya permintaan wawancara, maka saya berharap tulisan ini bisa menjawab sedikit perasaan penasaran media.
Siriq sebetulnya adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan, karena ia melekat dalam urat nadi setiap manusia di Sulawesi Selatan dan Barat. Tapi bila mau didefinisikan secara sederhana maka siriq adalah suatu perasaan yang muncul secara sadar untuk membela, mengangkat, dan memperjuangkan, baik secara pribadi, maupun secara kelompok agar martabat dan harkatnya bernilai tinggi, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhan. Semakin pintar seseorang, semakin adil, semakin baik budi pekertinya, semakin teguh pada pendirian, semakin berani, semakin satunya kata dengan perbuatan, dsb maka semakin tinggilah kadar siriq seseorang.
Setiap warga Sulawesi Selatan dan Barat menjunjung tinggi nilai siriq, tidak ada yang lebih penting dalam hidup mereka kecuali mempertahankan siriq, jangankan harta, jabatan, nyawa sekali pun menjadi taruhannya sepanjang itu untuk menegakkan siriq-nya. Hanya karena siriq-lah manusia hidup di dunia. Manusia yang tidak punya siriq, Tania ni tu tau rupa tau mani asenna: orang yang tidak punya siriq bukan lagi manusia hanya bermuka manusia saja, derajatnya sama dengan binatang.
Bagi mereka siriq-lah yang membuat mereka bermakna dalam masyarakat, seseorang yang merasa tidak bermakna dan tidak dipandang oleh masyarakat, entah karena dia miskin, bodoh, tidak berprestasi, dsb mereka merasa tidak punya siriq dalam hidupnya, sehingga biasanya mereka memilih sompeq (merantau) demi untuk mengangkat siriq-nya. Di sanalah di tempat rantaunya, mereka akan bekerja keras, apa saja yang dikerjakannya yang penting halal demi untuk meraih dan menegakkan siriq-nya. Inilah yang menjadi pemicu etos kerja dan motivasi untuk berusaha dan bekerja keras bagi mereka untuk menjadi yang terbaik bagi dirinya maupun masyarakatnya.
Dilihat dalam perspektif ini maka siriq sebenarnya adalah sesuatu yang positif dan agung, karena kemuliaan, kebaikan, keadilan, kesantunan, keberanian, kemurahan hati adalah intinya.
Ini sebenarnya adalah sesuatu yang universal, yang dimiliki oleh setiap manusia, yang membedakannya dengan manusia-manusia lain di luar Sulselbar, adalah karena dilembagakannya siriq ke dalam sistem pranata sosial politik dalam pemerintahan tradisional orang di Sulselbar, sehingga cara penghayatan, kontemplasi, dan pelaksanannya berbeda dengan yang lainnya. Sistem nilai tersebut telah dijabarkan secara tertulis di dalam lontaraq maka ia telah menjadi undang-undang dan norma yang harus dipatuhi. Konsekuensinya ada penegakan siriq bila undang-undang dan hukum tertulis itu dilanggar. Tingkatan hukum adat itu juga berjenjang tergantung tingkat kesalahan dan besarnya pelanggaran siriq yg dilakukan. Seperti membawa lari anaknya orang, maka to masiriq-nya (muhrimnya) boleh membunuhnya, halal darahnya, tapi itu berlaku hanya apabila yg bersangkutan masih berkeliaran di luar, bila ia sudah berada di rumah imam (mabbola imang/abballaq imang) maka hukum adat beralih menjadi hukum syariat, karena sudah di bawah perlindungan agama.
Bagian terakhir inilah yang sering menimbulkan interpretasi liar dan negatif bagi orang luar, karena penegakkan siriq seperti ini, biasanya berkonsekuensi pada tindakan kekerasan.
Belakangan ini kita tersentak kaget oleh sebuah drama pembunuhan yang dilakukan oleh Irjen Ferdy Sambo yang berasal dari Sulselbar yang cukup menghentak dan mencabik-cabik rasa kemanusiaan kita. Banyak orang yang mencoba mengaitkan tindakan brutal Ferdy Sambo itu sebagai penegakan siriq karena maruah dan harkat keluarganya terganggu. Untuk memahami fenomena ini, kita harus melihat masalahnya secara jernih dan objektif.
Sambo, dalam berbagai ucapan dan tindakannya, baik sebelum tersangka maupun sesudah tersangka selalu berbicara yg baik, berapi-api, demi menjaga harkat institusinya, tapi kenyataanny tidak sesuai dengan apa yang diucapkannya, justru yang terjadi adalah sebaliknya, tidak menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan satunya kata dengan perbuatan.
Sambo adalah pemimpin yang berpangkat jenderal, yang seharusnya menjaga maruah dan harkat institusinya, justru malah mempermalukan institusinya yang melanggar nilai-nilai siriq yg seharusnya dia jaga dan junjung tinggi.
Sebagai pemimpin yang membawahi anak buah sampai ke jenjang yg paling rendah, dalam budaya siriq seharusnya dijaga, dilindungi, diayomi, dibimbing, dibantu, dan dikawal agar selalu berjalan berdasarkan prinsip-prinsip kebenran sebagai landasan dasar siriq. Kalau ia salah harus ditegur, dinasehati, atau diarahkan sesuai prinsip-prinsip kebenaran. Karena bagaimana pun bawahan ini berada di posisi yangg lemah, tidak berdaya, dan dituntut harus patuh pada perintah.
Alasan Sambo membunuh ajudannya itu, karena ia menegakkan maruah dan harga diri keluarganya, tapi siapa saksinya, apa bentuk pelanggaran siriq yang dilakukannya, seberapa besar pelanggaran siriq itu, tidak ada sama sekali penjelasannya. Dalam budaya siriq bentuk pelanggaran siriq itu sanksinya berjenjang, bergantung besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Mereka, harus dinasehati dulu, dibina dulu, atau kalau sudah besar sekali pelanggarannya dalam budaya siriq maka ia di paoppangi tana (diusir karena sudah dianggap mati), dan terakhir kalau sudah sangat besar pelanggaran siriq yang dilakukannya, maka barulah dibunuh.
Sambo membunuh anak buahnya, ramai-ramai, berempat, di bawah tekanan dan moncong senjata terhadap si lemah adalah sebuah pelanggaran siriq yang sangat besar. Prof. Christian Pelras dari Prancis, mengatakan bahwa bila seorang warga Sulselbar terpaksa menempuh jalan kesulitan dan kekerasan, maka konsep keadilan bagi mereka, adalah beri dia lawan yang seimbang, itulah keadilan bagi mereka. Cara penegakan siriq tidak serampangan, berjenjang, mulai dari berkelahi tangan kosong satu lawan satu di tanah lapang, saling menikam di tanah lapang, dan dalam bentuknya yang paling ekstrim adalah bertikaman dalam sarung.
Jangankan membunuh seseorang, memukul saja seseorang dengan beramai-ramai tanpa memberi dia waktu dan jeda untuk mempersiapkan diri agar bisa melawan, itu sama dengan pecundang, pengkhianat, dan pelanggar siriq yang tak termaafkan. Tabeq, tapada salamaq. (*)