Wanita Makassar sangat menyukai hiburan, ketika ada perayaan di luar rumah, mereka berbondong-bondong mengikuti acara tersebut sambil menari bergandengan tangan yang tangannya telah dibungkus sapu tangan dengan laki-laki dengan cara melingkar, yang mula-mula lingkaran itu kecil, tapi lama kelamaan lingkaran itu melebar karena setiap saat banyaknya anak-anak muda masuk bergabung. Sambil menari melenggang dan melenggok, suara biduan yang merdu menghibur diiringi musi dan terompet.
Sementara itu pada saat laki-laki telah dewasa maka ia disunat dengan pesra yang sangat meriah. Hal yang sama juga berlaku pada wanita, Gervaise mengatakan bahwa satu-satunya umat Muhammad yang melaksanakan khitanan bagi perempuan adalah orang Makassar, meskipun pestanya tidak seramai dengan pesta khitanan laki-laki.
Apa yang telah diuraikan di atas memperlihatkan bahwa hubungan yang berlangsung antara laki-laki dan perempuan adalah relasi yang berlangsung secara berimbang, baik di dalam dunia domestik maupun dalam dunia publik. Apa yang dikemukakan oleh Gervaise bahwa pemasangan kalung bagi laki-laki kepada perempuan pada saat memasuki rumah baru yang disediakan oleh laki-laki kepada wanita, adalah sebagai awal perbudakan wanita adalah tidak benar, yah Gervaise hidup di Barat dengan budaya patriakhat yang sangat kuat saat itu jauh sebelum ada gerakan pembebasan perempuan. Banyak pandangannya yang nagatif terutama budaya Makassar yang menjunjung tinggi tentang siriq na pace yang dia sama sekali tidak paham.