Pergulatan bissu, baik dari segi artefak hidup, maupun sebagai manusia yang tidak bisa lepas dari kesalahan, memerlukan atensi dari semua pihak. Mencibirnya sebagai hina, adalah kepicikan. Tetapi, menyucikannya sebagai maksum adalah berlebihan.
Membenturkan budaya dan agama adalah kepicikan yang melihat keduanya dengan kacamata tapal kuda. Hitam putih, salah benar, surga neraka, dosa pahala, sungguh tak ada dikotomi dalam membentur keduanya.
Bagaimana agama tak pernah lepas dari produk kebudayaan yang menyertai proses dalam ritualnya. Atau dalam bahasa syar’i-nya adalah amaliah. Mungkin naif bagi saya yang awam untuk membahasnya.
Kaidah ushul fikih sekalipun, mengakomodasi budaya sebagai persandingan dalam menjalani lakon hidup. Al-muhafazatu โala al-qadm al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah (senantiasa berusaha penjaga tradisi yang bernilai baik dan terbuka terhadap sesuatu yang datang dari luar-modernitas dan dinilai dapat bermanfaat bagi kemajuan)
Lalu, bagaimana dengan Bissu?
Membincang soal bissu dengan eksistensinya, manis sekaligus pahit dengan segala polemik yang membersamainya. Peraduan bissu di arajang, dengan perpaduan keberadaannya di tengah gempuran paham agama di satu sisi, di lain sisi dirawat dengan tangan sembunyi sebagai artefak hidup kebudayaan masa lampau.
Kerajaan masa silam, membincang dan berputar pada sekitar istana sentris. Bissu sebagai perangkat istana yang memiliki peran sentral. Penghubung dunia tengah dan atas, tengah dan bawah. Menjalin korelasi, membangun komunikasi, mencipta harmonisasi keseimbangan agar semuanya selalu berpadu sesuai kehendak dewata.