Oleh: Muhammad Takdir
Analis Politik Internasional
Di tengah dentuman perang di Ukraina, geliat politik penting juga terjadi di Tiongkok. Perdana Menteri Tiongkok, Li Keqiang mengumumkan akhir pekan lalu, Jumat, 11 Maret bahwa dia mundur dari jabatannya yang diduduki selama dua periode yang mencapai hampir satu dekade.
Tahun ini akan menjadi tahun terakhir bagi Li mendampingi Xi Jinping yang juga Presiden Tiongkok. Li, 66 tahun merupakan orang kedua setelah Xi Jinping dalam tubuh Partai Komunis China (PKC).
Berbeda dengan Li, Xi Jinping setelah perubahan konstitusi tahun 2018 lalu yang menghapuskan ketentuan batas two-term untuk presiden, akan terus berkuasa. Kemungkinan seumur hidup seperti Mao Zedong.
Li dan Xi seharusnya selesai dengan jabatannya tahun ini setelah berkuasa 10 tahun. Dengan kepergian Li, Xi Jinping harus mempersiapkan pengganti Xi melalui periode ketiga kekuasaannya.
Xi Jinping saat ini menjadi pusat kekuasaan negeri tirai bambu. Xi memegang tiga mesin kekuasaan paling prestisius di Tiongkok. Sebagai Presiden, Xi juga sekaligus sekaligus Sekretaris Jenderal (sekjen) PKC dan Ketua Central Military Commission. Posisi paling powerful karena mengendalikan seluruh kendali komando militer Tiongkok.
Seperti pernah ditulis Xinhua – Kantor Berita Tiongkok, Xi Jinping diyakini akan mampu membawa Tiongkok memasuki masa yang disebutnya era of strength.
Episentrum politik regional yang paling diperhatikan saat ini memang masalah prospek suksesi kepemimpinan pasca Xi Jinping. Tidak banyak pengamat yang berani berspekulasi bahwa terdapat figur baru sama kuatnya yang akan menerima estafet kepemimpinan dari Xi.